SINGARAJA – Kegiatan peninjauan rencana lokasi pembangunan Bandara Internasional Bali Utara di Kabupaten Buleleng rupanya belum diketahui Desa Adat Kubutambahan.
Perwakilan Desa Adat Kubutambahan, Jero Pasek Ketut Warkadea mengaku belum mendapat informasi terkait kedatangan tim dari Kemenhub untuk melakukan peninjauan itu. Hal itu menurutnya aneh, lantaran rencana pembangunan bandara tersebut akan menggunakan lahan milik Desa Adat Kubutambahan dan Desa Adat Sanih.
"Kami dari adat tidak dapat info apapun. Saya malah baru tahu dari media," ucap Warkadea, Selasa (10/9/2019).
Pihak adat pun merasa dilangkahi. Terlebih lahan yang digadang-gadang bakal jadi lokasi pembangunan bandara, ialah hak milik adat dengan status tanah duwen pura. Ia menduga hal itu terkait penolakan prajuru desa adat mengenai draf rancangan lokasi bandara yang baru-baru ini diterima pihak adat.
Draf rancangan tersebut diterima dari sebuah konsorsium pembangunan bandara sekira dua pekan lalu. Salah satu klausul yang jadi poin keberatan prajuru adat yakni pengalihan kepemilikan lahan milik desa adat. Sementara desa adat sudah sejak dulu menyatakan bahwa akan tetap mempertahankan hak atas kepemilikan lahan itu.

“Kami tidak keberatan ada bandara di sana. Silakan saja dibangun di sana. Tapi kami minta statusnya tidak berubah. Tetap sebagai lahan duwen pura. Kalau ada draf yang menyatakan bahwa lahan duwen pura itu akan beralih kepemilikan menjadi milik konsorsium, jelas bertentangan dengan sikap kami,” tuturnya.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada Kamis 5 September 2019 lalu menerjunkan tim ke lokasi pembangunan bandara. Mereka mencocokkan tiga titik koordinat yang sudah dikaji oleh konsorsium.