Delapan dari 10 fraksi yang hadir dalam Rapat Panja menyetujui batas usia perkawinan menjadi 19 tahun. Namun, dua anggota DPR RI dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifah Amalia dan fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ach Baidowi memilih menolak dan menegaskan bahwa batas usia perkawinan seharusnya 18 tahun, alasannya karena masih banyak budaya masyarakat Indonesia, khususnya di desa yang mempraktekan perkawinan usia anak.
“Saya setuju jika batas usia perkawinan menjadi 18 tahun, karena tidak hanya terbatas dari usia tapi juga pada tingkat kematangan. Kematangan seseorang baik secara biologis maupun psikologis dapat dibentuk melalui pengasuhan yang baik, sedangkan hingga saat ini belum ada regulasi khusus yang mengatur terkait pengasuhan keluarga,” katanya.
“Belum lagi ancaman narkoba, pornografi, dan minuman keras yang mendorong terjadinya seks bebas sebagai penyumbang besar kasus perkawinan anak. Perlu regulasi dan koordinasi yang baik juga matang yang dibuat pemerintah dalam mengatur masalah ini.”
Lain halnya dengan Ledia, anggota DPR RI dari fraksi Partai Golkar, Endang Maria Astuti, mengungkapkan anak berusia 18 tahun kondisi alat reproduksinya belum berfungsi maksimal.
“Jika anak harus melahirkan, kondisinya belum mampu secara psikologis, kondisi emosionalnya juga belum matang, inilah penyebab angka perceraian tinggi. Perempuan dan bayinya juga rentan mengidap penyakit, hal ini tentu menghambat anak untuk menjadi generasi emas di masa depan,” ujar Endang.
Rapat paripurna pengesahan RUU Perkawinan dijadwalkan pada 17 September 2019, kata Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Sudiro Asno.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, pembatasan usia perkawinan minimal 19 tahun merupakan langkah maju bagi bangsa Indonesia.
“Semoga capaian norma hukum usia perkawinan ini diikuti dengan upaya edukasi pendewasaan usia perkawinan. Edukasi dapat dilakukan oleh dan untuk semua elemen masyarakat dan bergandengan tangan dengan pemerintah,” kata Ketua KPAI Susanto.
(Salman Mardira)