TANGERANG SELATAN - Porsi operasi senyap intelijen mengambil porsi yang lebih besar ketika entitas yang menghendaki instabilitas sudah menunjukkan permusuhan terhadap kehidupan negara, misalkan mengancam akan merdeka melalui aksi ikutannya, separatisme dan pemberontakan atau menggalang aktivitas-aktivitas yang bertujuan melemahkan keutuhan kesatuan bangsa, serta wibawa pemerintah dijatuhkan melalui delegitimasi kekuasaan.
Namun, peristiwa politik beberapa waktu yang lalu yaitu pertemuan antara presiden bersama 61 tokoh papua memberikan tafsir lain jika kegiatan intelijen memasuki proses lain yang lebih terang-terangan ketika Presiden (user) dihadapkan pada daftar permintaan dan nantinya baik cepat atau lambat akan di respon melalui kebijakan pemerintah.
Pengamat politik Ireng Maulana mengapresiasi keberhasilan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG) dan jajarannya mempertemukan 61 tokoh Papua dengan presiden beberapa waktu lalu. BG pun turut hadir dalam pertemuan tersebut.
Baca Juga: Kepala BIN Tegaskan 61 Tokoh Papua yang Temui Jokowi Wakili Semua Komponen
"Kita yakini daftar permintaan ini muncul sudah terlebih dahulu melalui perhitungan risiko dan skala ancaman yang berasal dari dari analisis intelijen," ujar pria lulusan Master of Art in Political Science dari Lowa State University, Iowa (IA), Amerika Serikat ini.
Ireng menyebut intelijen sebagai proses yang berbeda karena kehadiran Ka BIN dalam pertemuan tersebut di mana biasanya pemerintah dapat memposisikan pejabat lain untuk mendampingi Presiden.
"Kehadiran langsung Ka BIN dalam pertemuan ini dapat pula diartikan sebagai bantahan kecemasan banyak pihak bahwa pendekatan penyelesaian kerusuhan yang terindikasi ditunggangi kelompok pemberontak ingin diselesaikan melalui jalan konsolidasi," ujar Ireng saat diwawancara.