Secara umum, kata Wawan, angka tersebut terdapat kenaikam dibandingkan dengan indeks SPI 2017. "Rata-rata tahun 2017 itu nilainya 66 sekarang 68,75. Artinya ada peningkatan dengan sebelumnya," ucap Wawan.
Adapun aspek penilaiannya meliputi budaya organisasi dalam merespons adanya praktik suap, gratifikasi, serta keberadaan calo. Kemudian, sistem antikorupsi, pengelolaan sumber daya manusia (SDM), misalnya mengukur nepotisme penerimaan pegawai atau promosi jabatan. Serta pengelolaan anggaran seperti penyelewengan anggaran baik perjalanan dinas fiktif atau honor fiktif.
Secara umum, hasil SPI menemukan sekitar 22% responden pernah mendengar atau melihat keberadaan calo. Kemudian, 25% responden pernah mendengar atau melihat keberadaan nepotisme dalam penerimaan pegawai. Sebanyak 5,6% responden internal pernah mendengar atau melihat keberadaan suap dalam kebijakan promosi.
Kemudian, sekitar 21% responden internal juga cenderung percaya bahwa suap atau gratifikasi mempengaruhi kebijakan karir di lembaganya. Terkait gratifikasi, sebanyak 25% responden pengguna layanan melihat atau mendengar pegawai menerima suap atau gratifikasi.
Metode survei ini melalui wawancara mendalam dan pengambilan sampel responden acak terhadap 130 responden untuk masing-masing lokus. Responden yang diwawancara terdiri dari internal responden dan eksternal responden. Survei dilakukan medio September Oktober 2018.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata berharap capaian SPI tersebut dapat meningkatkan IPK guna men gintegrasikan dengan capaian monitoring center for prevention (MCP) koordinasi supervisi pencegahan KPK.
"Tujuannya apakah sinkron atau tidak? Kalau ternyata nilai MCP nya tinggi tapi nilai SPI nya rendah, bisa jadi administratifnya saja yang baik, tetapi pelaksanaannya belum baik,” ujarnya.
(Arief Setyadi )