PADANGÂ - Hujan gerimis membasahi wilayah Kota Padang, Amir (82) seorang pejuang veteran baru pulang upacara peringatan kemerdekaan RI ke-75 berjalan di pematang sawah dengan tangan kirinya menenteng sepatu warna hitam, sementara kepalanya memakai kopiah ditutupi dengan baju batik warna hitam motif coklat bertuliskan veteran 45.
Ternyata, Amir yang lebih dikenali dengan Amir Bidai baru pulang upacara proklamasi kemerdekaan di Lapangan Imam Bonjol Padang, dia terjebak hujan setelah pulang upacara tersebut. Baju batik veteran tersebut sudah basah sementara dia memakai baju batik lainnya yang diambil dari rumah anaknya.
Amir tinggal di sebuah pondok reyot di kaki bukit, Kelurahan Kuranji, Kecamatan Kuranji, Kota Padang bersama istri keduanya Dasri (58). Dinding pondoknya hanya beberapa kayu kemudian ditutupi seng lalu dilapisi dengan kayu-kayu, sementara atap rumahnya terbuat dari rumbia daun sagu sebagian lagi ditutupi pakai seng. Pondok berupa panggung ini di kolongnya ada kandang kambing diisi dua ekor kambing.
“Ambo baru pulang upacara, tadi takuruang hujan takalok di kadai (saya baru pulang upacara, tadi terjebak hujan dan tertidur di warung dekat jalan,” ungkapnya, Senin (17/8/2020)
Amir hanya ingat dia mendapatkan sebuah pengakuan sebagai pejuang karena dulu terkenal dengan pasukan semut. Dia tidak mengenal siapa-siapa saja pasukan semut tersebut dan tidak diorganisir, mereka beroperasi sendiri. “Saya dikasih gelar pasukan semut itu baru setelah kemerdekaan saja,” ungkapnya.
Ia mendapat gelar tersebut lantaran sering mencuri senjata milik pasukan Belanda di Gadut, Kota Padang. “Dulu kita masih kecil, masih anak-anak, saat itu kita sering main-main di Gadut merupakan tempat tentara Belanda. Kalau mereka lihat saya selalu dikasih permen jadi mereka tidak curiga sama saya karena masih anak-anak, orang Belanda itu sayang sama anak-anak kemudian dikasih permen,” tuturnya.
Peristiwa itu terjadi sebelum Jepang menjajah Indonesia atau sebelum kemerdekaan. “Kalau enggak salah, umur saya entah empat tahun entah lima tahun. Kemudian pada malam harinya ketika pasukan Belanda turun ke arah Simpang Haru merupakan markas Belanda, saya masuk ke poskonya di Gadut dan mengambil bren, saat dibawa kabur saya dicegat orang Indonesia kemudian senjata yang saya larikan itu diambil yang kemudian setelah dewasa saya baru sadar ternyata yang merampas senjata ditangan saya itu pasukan Indonesia,” tuturnya.
Baca Juga :Â Menhan Prabowo : Dirgahayu RI Mari Teruskan Perjuangan Para Pendahulu
Dia mencuri senjata itu hanya satu-satu, karena badannya tidak sanggup membawa senjata banyak-banyak umur seperti itu. “Kalau saya ingat-ingat ada sembilan kali saya mencuri senjata orang Belanda itu, tapi saya mencuri hanya satu-satu saja karena usia saya masih kecil tidak sanggup saya mengangkatnya, jenis senjata saya curi itu ada bren, ada sten ada juga senjata laras panjang lainnya. Saya mencuri itu tidak tahu apakah ada pelurunya atau tidak saya ambil saja,” ujarnya.
Saat mau dibawa pulang lewat semak-semak kata Amir, dia sudah dihadang orang-orang dewasa kemudian digertak akhirnya itu dikasih sama pasukan Indonesia. “Saat itu mana ada seragam pasukan kita, sama seperti kita saja. Beda sekarang pasukan kita pakai seragam loreng-loreng, dulu hanya pakaian biasa saja ternyata mereka pasukan kita. Senjata itu hanya untuk koleksi saya tidak diperintahkan dari komandan, buktinya saya tidak ada pangkat, saya hanya pejuang saja,” ungkapnya.
Amir biasa melakukan pencurian tidak menentu kadang siang kadang malam, tapi rata-rata malam hari. Sebab menurutnya kalau malam hari kebanyakan pasukan Belanda penglihatannya kabur. “Kan tahu kalau malam hari pasukan Belanda itu penglihatannya rabun atau kabur jadi mereka tidak bisa melihat kita. Tidak pakai ilmu kok , kita hanya memanfaatkan kelemahannya saja dan tidak pernah ditangkap Belanda,” tuturnya.