“Selain itu, plastik yang berserakan mungkin memiliki sisa makanan di atasnya, seperti minyak dan garam, yang menarik untuk dicicipi,” tambahnya.
Melalui penelitian terbaru, Dr Eriksen telah menunjukkan jika tas, botol, tali, dan plastik lainnya dapat menumpuk di perut unta selama bertahun-tahun, perlahan-lahan mengapur menjadi massa padat.
Penumpukan tersebut bisa menyebabkan unta selalu merasa kenyang, dan akhirnya berhenti makan sama sekali.
Unta-unta itu pun akan kekurangan gizi dan meninggal. Kantung di usus mereka juga menampung koloni bakteri yang besar, sehingga unta mudah sakit karena tingginya jumlah bakteri.
Dr Eriksen mengatakan, dalam satu kasus, dia menemukan massa plastik - yang dikenal para ilmuwan sebagai polbezoar - dengan berat lebih dari 63 kilogram dari sisa-sisa unta.
“Ini bukan studi laboratorium. Ini adalah kehidupan nyata dan sedang terjadi sekarang pada seluruh populasi, bukan hanya seekor unta,” ungkapnya.
“Ini penting secara budaya. Jika budaya Timur Tengah menghormati unta, maka ini harus dihentikan, dan satu-satunya cara adalah dengan melarang plastik,” jelasnya.
Dia juga menemukan banyak plastik yang sering terbawa angin hingga jarak yang jauh.
“Bahkan sistem terbaik untuk menampung sampah plastik, seperti tong sampah, tempat sampah, truk, dan tempat pembuangan sampah, tidak boleh berisi kantong plastik. Mereka kerap beterbangan,” urainya.
Dr Eriksen, yang bekerja di The 5 Gyres Institute, organisasi nirlaba yang berfokus pada polusi plastik, tidak ragu lagi di mana letak kesalahannya.
“Perusahaan yang membuat plastik sekali pakai secara konsisten menolak tanggung jawab atas siklus hidup plastik, dan secara konsisten melawan kebijakan untuk mengekang plastik sekali pakai,” tambahnya.
“Masalah ini relatif baru dalam 20 tahun terakhir dan semakin parah,” ujarnya.
“Satu poin penting di sini adalah sampah plastik sebagian besar merupakan masalah laut, tetapi sebenarnya tidak. Studi ini juga menunjukkan dampak yang luar biasa pada daratan,” tegasnya.
(Susi Susanti)