DALAM buku-buku sejarah disebutkan Pangeran Diponegoro pernah ditahan penguasa Hindia Belanda di Museum Fatahillah, yang sekarang ini bernama Museum Sejarah Jakarta. Museum yang terletak di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, menjadi saksi kehidupan Pangeran Diponegoro selama tiga minggu sebelum dibuang ke Sulawesi.
Muncul beberapa versi tentang tempat penahanan Pangeran Diponegoro. Ada versi yang menyebutkan Diponegoro tidak ditahan di penjara, namun ditempatkan di lantai dua Museum Sejarah. Ditahan dalam sebuah ruangan yang luas. Sebagai seorang pemimpin, meski memberontak, Diponegoro diperlakukan dengan terhormat oleh Kompeni.
Baca juga: Kisah Bangsawan Pajajaran Bersimbah Darah dan Dyah Pitaloka Bunuh Diri di Bumi Majapahit
Sedang versi lain menyebutkan Diponegoro ditahan dibawah penjara bawah tanah yang cuma setinggi 1,65 cm. Penjara berbentuk setengah lingkaran yang sempit dan pengap itu tanpa dilengkapi tempat buang air. Sampai sekarang masih terdapat bekas bola besi untuk mengikat tahanan supaya tidak kabur.
Sejarahwan Peter Carey, penulis buku tentang P.Diponegoro, "Kuasa Ramalan", menjelaskan bahwa Diponegoro ditahan di ruangan Khusus.
Baca juga: Hukuman Mati Era Hindia Belanda, Digantung hingga Ditarik Kereta Kuda
"Walaupun Belanda kejam, Mereka tidak bodoh. DN (Diponegoro) adalah seorang Pangeran senior dari Keraton Yogya. Kalau dia diperlakukan kejam oleh pemerintah kolonial dengan di penjara atau dibui bawah tanah tidak mungkin petinggi pribumi mau berkooperasi dengan Pemerintah kolonial lagi, sebab mereka takut akan diperlakukan sama!," ujarnya.
Pangeran tiba di Semarang pada malam 29 Maret 1830, ia melewatkan waktu seminggu lamanya di Wisma Residen di Bojong karena Van den Bosch telah memutuskan tidak menahan dia untuk sementara di penjara kota itu.
Setiap hari makan di meja residen, ia menolak disuguhi anggur, tapi mulai suka dengan roti putih yang baru dipanggang. Ia juga tampak makin senang dengan kentang Welanda-"kentang sabrang" menurut kata-kata plesetan punakawan-nya, Roto-yang akan menjadi makanan sehari-hari baginya selama pelayaran ke Manado, 4 Mei-2 Juni 1830.
Meskipun ia dijaga ketat dengan pengawalan yang kuat, dan tidak pernah dibiarkan lepas dari pengawasan perwira kawalnya, Pangeran “lambat-laun merasa ceria dan senang dengan perlakuan baik yang diperolehnya di Wisma Residen”.
De Stuers dan Roeps, dua orang yang akan dipujikan oleh Van den Bosch kepada Raja Belanda agar dianugerahi penghargaan bintang jasa Singa Belanda (Ridderorde der Nederlandsche Leeuw) untuk jasa-jasa, menyempatkan diri menanyai sang Pangeran mengenai Perang Jawa dan sebab-musababnya, keterangan yang secepatnya disampaikan kepada Gubernur-Jenderal.
Pada hari Minggu, 28 Maret 1830, ia dibawa ke Batavia (pasca-1942, Jakarta) dari Semarang menggunakan kapal uap SS Van der Capellen. Dia tiba pada tanggal 8 Maret dan segera dibawa dari dermaga di Pasar Ikan ke Balai Kota untuk menunggu keputusan pemerintah Belanda-Hindia tentang nasibnya sebagai tahanan politik.
Di sini ia ditempatkan di apartemen pribadi kepala dinas penjara Batavia yang harus dikosongkan jika ada tahanan Eropa atau Indonesia yang berstatus “tinggi” berada di kediamannya. Keluarga dekat Sang Pangeran (istri, saudara perempuan, dan ipar laki-laki) berbagi ruang bersama dengan 16 pengikutnya yang ditampung di bangunan tambahan di sampingnya.
Meskipun berita tentang kedatangan Pangeran ke Batavia itu belum disiarkan dalam surat kabar gubernemen, Javasche Courant (De Haan 1935b, II:222 catatan 1), rombongan orang-orang Eropa yang ingin tahu menyewa kapal-kapal kecil atau berkerumun di dermaga untuk menyaksikan dia turun ke darat.
Satu diantaranya ialah seorang muda asal Skotlandia, George Frank Davidson, yang tiba di Jawa pada 1823 untuk bekerja di perusahaan yang didirikan oleh abangnya, John Davidson (Davidson 1846:9):134
"Aku melihatnya turun di Batavia dari kapal uap yang telah memba¬wanya dari Semarang. Kereta Gubernur Jenderal dan para ajudan berada di dermaga untuk menyambutnya. Dengan kereta itulah ia diangkut ke penjara, tempat ia diasingkan, yang tak ada yang tahu letaknya di mana, dan sejak itu tak terdengar lagi kabar beritanya. Orang yang bernasib malang!"
"Betapa berubah wajahnya, hal yang sudah semestinya, tatkala ia melihat ke arah mana kereta itu bergerak! Ia terhenyak ketika menjejakkan kaki di jalan masuk, jelas tampak tidak rela memasuki gedung besar yang tampak suram itu. Dia menatap sekeliling dengan gelisah dan, karena melihat tidak ada peluang untuk kabur, melangkah masuk. Sejumlah petugas menyusul. Sebelum yang berwenang menyuruh pintu ditutup, aku melihat pemimpin pribumi yang bernasib malang itu, bersama dengan dua istrinya, dikurung di dalam dua kamar yang tampak menyedihkan,"
Gedung besar yang tampak "suram” yang dikatakan oleh Davidson adalah Stadhuis atau Balaikota Batavia, di mana Diponegoro tinggal dari 8 April sampai 3 Mei 1830 (Van Doren 1851, II:54; De Haan 1935b, II:222).
"Namun ia tidak dipenjara di rumah tahanan polisi yang terletak di bawah Stadhuis itu, di mana Kiai Mojo dan rombongannya pernah ditahan dalam keadaan mengerikan dari awal 1829 sampai Februari 1830, dan juga tempat saudara kandung Mojo, Kiai Hasan Besari, meninggal hanya tiga bulan sebelumnya," papar Peter.
Sebaliknya, ia ditempatkan dalam dua kamar panjang di lantai atas permukiman kepala penjara Batavia yang berada langsung di atas penjara bawah tanah itu. Dua kamar berlangit-langit rendah itu adalah suatu tempat yang sering digunakan untuk menahan para pembesar pribumi Nusantara dan Eropa (De Haan 1935b:222).
Diponegoro merasakan tinggal selama tiga minggu di Balaikota sebagai siksaan, yang kemudian ia ceritakan kepada perwira kawalnya Knoerle dalam perjalanannya ke Manado dengan mengatakan bahwa “kesehatannya tidak memungkinkan dia hidup di Batavia di mana ia bisa menjadi korban hawa sangat panas”.
Sang Pangeran bukan satu-satunya pembesar yang terganggu kesehatannya selama sebulan itu. Enam puluh kilometer jauhnya di daerah Bogor yang berhawa pegunungan sejuk, seteru Pangeran itu, Johannes van den Bosch, juga mengalami gangguan kesehatan yang parah. Tidak bisa bekerja, ia diobati oleh para dokternya dengan garam air raksa karena penyakit yang dirahasiakan.
Dalam babad karyanya, Diponegoro menyatakan bahwa karena “sakit parah” yang memaksanya tinggal di pembaringan, Van den Bosch tidak bisa bertemu dia.
(Awaludin)