Pada 1910 Nitisemito secara kecil-kecilan membuat rokok yang ia kerjakan sendiri. Masa kejayaannya baru ia nikmati antara tahun 1922 hingga 1940.
Dalam menjalankan bisnisnya, pada 1934 ia mempekerjakan 10 ribu buruh. Sebelumnya, ia hanya menitipkan pengerjaan itu ke sejumlah pengrajin di kampung-kampung. Namun, karena kualitasnya kurang baik, maka ia pun membangun pabrik di daerah Jati, Kudus.
Pada masa jayanya, produksi rata-rata setiap hari pabrik kretek Nitisemito mencapai 8 juta batang. Rokok Bal Tiga dipasarkan Nitisemito dengan biaya yang tak sedikit.
Ia menjalankan perusahaannya secara modern. Setidaknya sistem pembukuan dan administrasinya seperti perusahaan-perusahaan orang Eropa. Tahun 1936, perusahaan Nitisemito dikunjungi oleh Sri Susuhunan Pakubuwana X dari Kesunanan Surakarta.
Selain merek Bal Tiga milik Nitisemito, industri kretek Kudus juga memproduksi merek Gunung Kedu, Tebu & Cengkeh, Trio, dan Tiga Kaki. Para juragan rokok lainnya adalah M. Nadiroen, Haji Muslich, Haji Ma’roef, dan Haji Nawawi—yang memelopori penggunaan mesin untuk memproduksi kretek.
Setelah kunjungan Pakubuwana X, pajak yang dibebankan kepada perusahaannya bertambah hingga 350 ribu gulden.
Perusahaan Nitisemito pernah dituduh menggelapkan pajak sebesar 160 ribu gulden. DI koran Nieuwsblad voor Sumatra (27/11/1939), perusahaannya berhutang pajak 75 ribu Gulden. Nitisemito harus mencicil pajak yang konon digelapkan itu sampai lunas.
Nitisemito menjadikan Kasmani, karyawannya yang berbakat, sebagai menantunya. Kasmani yang dinikahkan dengan putri keduanya itu dijadikan manajer pabrik. Nama Kasmani dicantumkan bersama nama Nitisemito dalam bungkus rokok Bal Tiga.
Namun, Kasmani tidak pernah menggantikan Nitisemito. Kasmani meninggal lebih dulu daripada mertuanya karena sakit setelah dituduh menggelapkan pajak dalam sebuah pengadilan.
Ketika Perang Pasifik, bisnis Nitisemito merosot. Ia tetap berjualan kretek sambil menyewakan sejumlah rumah.