Terlepas dari risiko arus pengungsi besar-besaran atau bahkan perang saudara, kesepuluh anggota ASEAN berselisih soal apakah akan mengadakan pertemuan. Ada tanda-tanda jelas perpecahan antara pemerintah yang ingin mengambil tindakan dan yang tidak.
Empat negara secara khusus telah mendesak adanya intervensi. Pada 31 Maret lalu, Menteri Luar Negeri Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Filipina mengunjungi China, yang diyakini membahas Myanmar. Sebagai ketua ASEAN saat ini, Brunei Darussalam juga aktif dalam menyusun pernyataan bersama yang menyatakan keprihatinan.
Malaysia telah menolak untuk mengakui junta militer sebagai pemerintah yang sah. Dalam pernyataannya, Malaysia mengacu pada "otoritas militer di Myanmar" dan terus menyerukan pembebasan atas "Penasihat Negara Aung San Suu Kyi" mengacu pada gelar resminya sebelum dikudeta.
Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, menyebut penindasan militer terhadap aksi-aksi protes merupakan langkah yang "tidak dapat diterima".
Tetapi muncul pertanyaan soal sikap negara-negara tetangga lainnya: Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam.
Secara khusus perhatian difokuskan pada Thailand dan Vietnam. Seorang analis Asia Tenggara mengatakan diplomat dari negaranya menyalahkan Bangkok dan Hanoi atas penundaan dalam mencapai posisi bersama di ASEAN.
Masih belum jelas apakah Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-ocha, akan hadir dalam KTT nanti. Menurut pengamat Thailand dari Universitas Chulalongkorn, Thitinan Pongsudhirak, "Pemerintahan Prayuth relatif diam" atas isu Myanmar.
Menurut dia, ada dua faktor di balik sikap pemimpin Thailand itu. Salah satunya, Prayuth sendiri adalah mantan jenderal yang berkuasa lewat kudeta militer.
Faktor lain adalah "Thailand punya kepentingan nyata yang dipertaruhkan, tidak terkecuali impor gas alam yang menyediakan sekitar 30% bagi listrik Thailand."
Kritik lain soal pemerintah Thailand datang dari Pavin Chachavalpongpun dari Universitas Kyoto di Jepang. "Thailand dan Myanmar ibarat kembar yang dipisahkan saat lahir," ujarnya.
"Militernya saling memperhatikan satu sama lain dan meniru cara memperkuat diri dalam perpolitikan. Saya melihat mereka mencoba membuat aliansi iliberalisme di kawasan ini,” terangnya.
Vietnam pun setali tiga uang. Pimpinan di Vietnam berhubungan erat dengan mitranya di Myanmar. Perusahaan telekomunikasi milik militer, Viettel, punya sejumlah kerja sama besar dengan militer Myanmar, nilainya lebih dari USD1 miliar.
Duta Besar Vietnam untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang kini memimpin Dewan Keamanan PBB, Dang Dinh Quy, sudah mengatakan bahwa negaranya menentang penggunaan sanksi internasional atas junta militer.
“Kita perlu melibatkan semua pihak yang berkepentingan di Myanmar, jadi kita akan membuat siapapun merasa dikucilkan,” ujarnya.
Baik Vietnam dan Thailand, bersama Laos, China, India, Bangladesh, Rusia, dan Pakistan mengirim pejabat senior militer untuk menghadiri perayaan Hari Angkatan Bersenjata Myanmar pada 27 Maret lalu, walaupun pada hari yang sama puluhan pemrotes ditembak mati di berbagai kota.