JAKARTA - Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin militer yang berada di balik kudeta Myanmar disebut-sebut akan hadir dalam dalam pertemuan para pemimpin ASEAN, pada Sabtu (24/04), di Jakarta—pertemuan pertama sejak kudeta Februari lalu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Tanee Sangrat, mengatakan sejumlah kepala negara termasuk Jendral Hlaing akan hadir. Namun juru bicara Kemenlu Indonesia, Teuku Faizasyah, mengatakan, kepastian kehadiran jendral itu baru diketahui hari Sabtu (24/04).
Rencana kehadiran Hlaing banyak ditentang oleh para aktivis dan politisi pro-demokrasi yang membentuk pemerintahan bersatu, National Unity Government (NUG), April ini.
NUG mendesak negara-negara tetangga untuk tidak mengakui junta dan meminta perundingan sebaiknya dengan pihak mereka.
Di antara aktivis yang menentang kehadiran sang jendral, termasuk Kyaw Win, direktur badan HAM yang berkantor di London, Burma Human Rights Network (BHRN).
"Apakah Presiden Jokowi akan berjabat tangan dengan Min Aung Hlaing yang melakukan genosida Rohingya dan membunuh 700 orang Burma lainnya," cuit Kyaw Win. "Undanglah pemerintahan NUG,” lanjutnya.
(Baca juga: Jepang Kembali Berlakukan Keadaan Darurat, Dubes RI untuk Jepang Imbau WNI Taat Prokes)
Namun belum ada tanda-tanda apakah sang jenderal maupun pihak pro-demokrasi yang menentangnya akan segera berkompromi. Lantas, apakah Pertemuan ASEAN mendatang bisa mengakhiri pertumpahan darah di Myanmar?
Kekerasan di Myanmar masih terus terjadi dan ASEAN sendiri terpecah dalam mencapai konsensus untuk membantu mencari jalan menangani krisis di Myanmar.
Sejauh ini, kepala negara yang hadir termasuk Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, dan PM Vietnam, Pham Minh Chinh. Adapun PM Thailand, Prayuth Chan-ocha mengatakan akan diwakili Don Pramudwinai, yang juga menteri luar negeri.
Dalam beberapa pekan terakhir, militer Myanmar telah menggunakan granat lontar atas warga sipil dan jet-jet tempur dalam melawan kaum pemberontak di sejumlah daerah.
Banyak pengamat yakin bahwa negara ini berada di ambang status "negara gagal".
Karena yakin bahwa rangkaian sanksi ekonomi yang telah diterapkan hanya akan berdampak terbatas bagi pimpinan militer Myanmar, pemerintah negara-negara di Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur telah mengimbau mitra-mitra mereka di Asia Tenggara untuk memimpin upaya mengatasi krisis.
Sekilas mereka tampaknya punya banyak alasan untuk melakukannya: situasi Myanmar merupakan ancaman terbesar bagi keamanan Asia Tenggara sejak bentrokan antara Thailand dan Kamboja satu dekade lalu.