JAKARTA - Pada 17 Agustus 1945, Hari Jumat Legi, Bulan Puasa, pukul 10.00, Bung Karno dan Bung Hatta atas nama rakyat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Saat itu, Soeharto masih di Brebeg, sedang melatih para prajurit. Pada tanggal 18 Agustus, begitu dirinya selesai melatih prajurit-prajurit PETA tersebut, mereka diperintahkan bubar. Mereka disuruh menyerahkan kembali senjata-senjatanya. Mobil pun dirampas oleh Jepang. Tanpa mengetahui apa yang telah terjadi di Jakarta, Soeharto pergi dari Brebeg ke Madiun, lalu ke Yogyakarta.
Mula-mula Soeharto tidak tahu apa-apa tentang kemerdekaan kita itu. Setelah tiba di Yogya, barulah Soeharto tahu samar-samar, dan kemudian menjadi lebih jelas lagi. Dia paham akan hal itu dari teman-teman, dari orang-orang di jalan dan di rumah. Demikian dikutip dari buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Otobiografi yang diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda.
Baca Juga: Arwah Serdadu Jepang di Kali Bekasi
Mendengar berita seperti itu Soeharto pikir, “Wah, ini artinya panggilan.” Perasaan dan perhitungannya sewaktu berada di asrama-asrama PETA itu terbukti benar. Dia sudah merasakan, bahwa bangsa Indonesia sungguh-sungguh menginginkan kemerdekaan. Dan sekarang kemerdekaan itu sudah diproklamasikan. ltu berarti panggilan bagi kita untuk membelanya.
Soeharto pun membaca surat kabar “Matahari” yang terbit di Yogya tanggal 19 Agustus, yang memberitakan kabar besar mengenai proklamasi dan Undang-Undang Dasar serta terpilihnya Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden negara kita yang baru lahir.
Rupanya hari itu pula Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Presiden dan Wakil Presiden RI serta menyatakan ikut bergembira atas terbentuknya Negara Republik Indonesia. Kata sambutan Sultan Hamengku Buwono IX dimuat pula dalam harian “Matahari” yang menyebutkan bahwa semua, tidak ada yang terkecuali, harus bersedia dan sanggup mengorbankan kepentingan masing-masing untuk kepentingan kita bersama, ialah menjaga, memelihara, dan membela kemerdekaan nusa dan bangsa.
Baca Juga: Kisah Romusha di Balik Pembangunan Terowongan Niyama
Jepang masih ada di Yogya dan kelihatan masih tetap ingin berkuasa, sementara pemuda-pemuda menunjukkan hasratnya yang meluap-luap untuk mendapatkan senjata guna mempertahankan kemerdekaan kita. Dalam pada itu, tentara Jepang rupanya mulai menyadari bahwa rakyat Yogya sudah tahu akan kekalahan mereka dalam peperangan. Tetapi mereka bertahan di asramanya masing-masing.