Tak berhenti di situ, Sultan Yogyakarta yang dinobatkan pada 18 Maret 1940 dengan gelar "Ngarsa Dalem Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwono Sénapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta Hadiningrat" itu juga adalah yang pertama kali memilih berseberangan dengan Penjajah Belanda dan kuat memperjuangkan dan mempertahankan kemeredekaan Indonesia.
Sultan pun pernah ditunjuk Presiden Soekarno saat itu untuk menjadi penjamin keamanan bagi tentara Belanda yang sedang memindahkan pasukannya dari Yogyakarta atas kesepakatan yang diperoleh dari Perjanjian Roem Royen.
Kian terdesak pada 27 Desember 1949, Belanda lalu menyerahkan kedaulatan di Istana Merdeka Jakarta yang saat itu adalah Istana Rijkswik. Pada saat sama, juga dilakukan penyerahan kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan diterima Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai wakil Pemerintahan RIS kala itu.
Karier dan perjuangannya yang dilakukan pada masa-masa perjuangan sebelum dan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 telah memberikannya jalan baginya mendapatkan sejumlah jabatan.
Sebelum diangkat menjadi Wakil Presiden ke 2 di era Presiden Soeharto pada 23 Maret 1973–23 Maret 1978, Bapak Pramuka Indonesia peraih penghargaan Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) pada tahun 1973 itu juga pernah berkiprah sebagai menteri.
Sejumlah kementerian yang pernah dijejakinya sejak era Soekarno hingga Soeharto yaitu, Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri Indonesia (Menko Ekuin) Kabinet Pembangunan I sejak 25 Juli 1966–29 Maret 1973 pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto. (din)
(Rani Hardjanti)