Pendeknya, kalau tidak segera diambil langkah cepat dan tepat, bukan tidak mungkin nasib Indonesia akan tamat. Bak bunga layu bahkan sebelum sempat berkembang. Tiba-tiba dari Jogja datang kabar gembira. Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, menawarkan diri menjadi ibukota. Tanpa pikir panjang karena memang tidak banyak pilihan, Soekarno-Hatta setuju.
''Kami setuju (pindah) ke Jogja,'' begitu kira-kira respon Soekarno-Hatta, kala itu.
Maka disusunlah skenario untuk mengungsikan jajaran pemerintahan RI ke Jogja. Taktik pun disusun. Mengingat seluruh penjuru telah diawasi ketat oleh Belanda dan sekutunya, cara yang paling aman yaitu mengunakan kereta.
Baca juga: Pandemi Covid-19, Labuhan Merapi Hanya Diikuti "Abdi Dalem" Keraton Yogyakarta
Tanggal 3 Januari 1946 jelang tengah malam, rombongan bergerilya melakukan berbagai cara agar kereta dapat berangkat dengan aman ke Jogja. Tanggal 4 Januari 1946 kereta dengan selamat tiba di Stasiun Tugu disambut Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII, Panglima TKR Jenderal Soedirman dan pejabat lain beserta rakyat. Rombongan bergerak menuju Gedung Agung.
Yogyakarta terbukti menjadi tempat yang sangat strategis untuk terus menggerakkan roda pemerintahan Republik Indonesia. Tidak berlebihan, karena Yogyakarta saat itu memang satu-satunya kota dengan tata pemerintahan yang terkoordinasi baik dan tertata rapi.