Femmy menjelaskan, terjadinya perkawinan anak kebanyakan disebabkan oleh faktor tradisi, budaya yang melanggengkan perkawinan anak, serta kurangnya pemahaman terkait batas usia perkawinan anak dan dampaknya.
"Tidak semua mengerti, tidak semua baca UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak. Masih ada pro kontra pemahaman pencegahan perkawinan anak. Padahal mandat dari negara tersebut harus dimengerti oleh masyarakat, termasuk orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat," jelasnya.
Selain itu, Femmy menuturkan, peran peer group atau kelompok sebaya bagi remaja juga sangat penting untuk membentengi terjadinya perkawinan anak, dengan saling mendukung kegiatan-kegiatan positif pada remaja.
Femmy menegaskan bahwa dalam masa pandemi covid ini anak-anak harus tetap sekolah, dan walaupun belum bisa melakukan kegiatan bersama, anak-anak diharapkan memiliki kegiatan-kegiatan yang dapat mengoptimalisasi bakat-bakat mereka, baik secara daring dan luring terbatas.
Baca juga: Cegah Perkawinan Anak, Menkes Budi Beberkan Risiko Kesehatan
"Kesibukan tersebut akan membuat anak fokus terhadap masa depannya," ujarnya.
Deputi Femmy menerangkan, perkawinan anak korbannya adalah anak. Oleh sebab itu kepada anak sangat perlu terus menerus diberi edukasi yang tepat dan sesuai dengan usianya.
Baca juga: Menkes: Perkawinan Dini Bentuk Pelanggaran Hak Anak
"Agar Pencegahan Perkawinan Anak dan dampak perkawinan anak dipahami oleh anak, kami telah melaksanakan webinar Pencegahan Perkawinan Anak, yang dihadiri oleh 2500 an peserta, sebagian besar anak, usia 13 – 18 tahun, siswa/siswa pendidikan formal dan non formal jenjang SMP, SMA, SMK se derajat, santriwan dan satriwati, dan wakil dari Forum Anak se Indonesia, serta GenRe," tuturnya.