Pedagang asing membawa barang-barang ini ke Assur, bersama dengan tekstil dari Babilonia di Irak Selatan.
Barang-barng itu kemudian dijual pada orang-orang Asiria, yang kemudian mengemaskan ke karavan menuju Kanesh dan kota-kota lain di wilayah Anatolia di Turki, dan menukarnya dengan emas dan perak.
Instrumen keuangan yang kompleks memfasilitasi perdagangan ini, salah satunya apa yang disebut sebagai "naruqqum", yang secara harafiah bermakna "tas".
Istilah itu mengacu pada perusahaan saham gabungan, di mana investor Asiria mengumpulkan perak mereka untuk mendanai karavan yang digunakan pedagang selama bertahan-tahun.
Para pedagang juga mengembangkan jargon bisnis, seperti "Tablet sudah mati", yang berarti utang telah dilunasi dan pencatatan kontrak dalam tablet dibatalkan.
Sedangkan jargon "perak yang lapar" merujuk pada perak yang tidak diinvestasikan dan menganggur, alih-alih menghasilkan keuntungan.
Perempuan Asiria berkontribusi pada jaringan komersial yang ramai ini dengan memproduksi tekstil untuk ekspor, memberikan pinjaman pada pedagangan, membeli dan menjual rumah, dan berinvestasi dalam skema naruqqum.
Keterampilan mereka sebagai penenun memungkinkan mereka mendapatkan perak sendiri. Mereka terus memantau mode dan tren pasar di luar negeri untuk mendapatkan harga terbaik, serta pajak dan biaya lain yang mempengaruhi keuntungan mereka.
"Mereka benar-benar akuntan. Mereka tahu betul apa yang harus mereka dapatkan sebagai imbalan atas tekstil mereka.
"Dan ketika mereka mendapatkan uang ini dari penjualan tekstil mereka, mereka membayar untuk makanan, rumah, dan kebutuhan sehari-hari, tapi mereka juga berinvestasi," ujar Michel, yang juga turut membuat film dokumenter baru tentang perempuan
(Awaludin)