JAKARTA - Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Pencegahan Korupsi Polri menyatakan bahwa masih ditemukan adanya celah dalam pengelolaan dana jaminan reklamasi dan pasca tambang.
Wakil Kepala Satgassus Pencegahan Polri Novel Baswedan mengungkapkan temuan itu dikarenakan rekening penempatan dana, khususnya untuk tambang non bantuan masih dalam penguasaan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Padahal menurut Novel, rekening penempatan dana jaminan reklamasi dan pascatambang seharusnya dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui Ditjen Minerba Kementerian ESDM. “Secara nasional diperkirakan nilainya mencapai triliunan rupiah,” kata Novel dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Senin (2/1/2022).
Satgassus Polri juga menemukan adanya celah korupsi dari sisi pencatatan dan pelaporan penempatan jaminan dikarenakan belum terselenggara dan terintegrasi dengan baik.
“Kegiatan pengawasan pengelolaan jaminan reklamasi dan pascatambang belum optimal setelah diberlakukannya UU Nomor 3 Tahun 2020,” ujar Novel.
Selain itu ia menuturkan kepatuhan perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk melakukan dan melaporkan kegiatan reklamasi sesuai rencana relatif masih rendah.
“Lembaga/unit kerja pemerintah di bidang kehutanan dan lingkungan hidup relatif tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan reklamasi dan pascatambang,” ucap Novel.
Tak hanya di kasus tambang, Novel menuturkan pihaknya juga menemukan potensi korupsi dalam penstribusian program Pupuk Bersubsidi oleh Kementerian Pertanian (Kementan).
Novel menuturkan, temuan itu didapati karena masih banyak ditemukan penerima ganda Pupuk Bersubsidi yang dituangkan dalam elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK).
Selain itu, Satgassus Polri juga menemukan masih belum optimalnya penggunaan Kartu Tani, baik dari sisi distribusinya dan sarana prasarananya. Termasuk juga belum optimalnya pendataaan penerima Pupuk Bersubsidi dan pengawasan distribusi Pupuk Bersubsidi oleh pemerintah daerah.
Dalam kasus peminjaman Pemulihan Ekonomi Khusus (PEN), kata dia, masih banyak celah korupsi untuk pembangunan infrastruktur di daerah. Ia mencatat terdapat sejumlah keterlambatan dalam realisasi penggunaan pinjaman PEN di beberapa daerah. Selain itu masih pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang menggunakan dana PEN juga masih belum optimal.
Temuan keempat, yakni celah korupsi dalam penyaluran Bantuan Tunai Langsung Dana Desa (BLT-DD). Sebab, kata dia, masih adaperbedaan penerapan cara pendataan, mulai dari pendata calon keluarga penerima manfaat (KPM) BLT- DD yang berbeda-beda untuk setiap desa.
“Kriteria yang beragam yang digunakan oleh desa dalam pemilihan calon KPM dan tidak semua desa menggunakan kertas kerja sebagai acuan atau tidak terdokumentasikan dengan baik kertas kerja pendataan, dapat menyebabkan potensi pemilihan penerima bantuan yang kurang transparan dan akuntabel,” papar Novel.