PERISTIWA Malari (Malapetaka Limabelas Januari), membuat posisi pasukan elite TNI atau Kopassus dilematis, karena harus menjalankan tugas harus berhadapan dengan rakyat. Peristiwa yang terjadi pada 15 Januari 1974 itu, membuat pentolan Korps Baret Merah Letjen TNI (Purn) Soegito mengamankan Jakarta yang dilanda kerusuhan.
Dikisahkan dalam buku "Letjen Purn Soegito Bakti Seorang Prajurit", pada Rabu (11/1/2023). Soegito menjalankan rutinitasnya sebagai Wadan Grup 1 RPKAD sambil menunggu panggilan dari Seskoad. Seperti dilansir dari Sindonews.com.
Siang itu, 15 Januari 1974, Soegito tidak langsung pulang ke rumah setelah apel siang. Ia masih harus menyelesaikan satu pekerjaan lagi, sebelum berencana angkat kaki dari kantor, ketika tiba-tiba Danjen Kopassandha Brigjen Witarmin memanggilnya.
"Mayor Gito, siapkan pasukan satu kompi. Segera atasi kekacauan di Senen. Pertama, Mayor Gito lapor ke Mayjen Mantik di Merdeka Barat," perintah Pak Witarmin cepat dan tanpa basa-basi.
BACA JUGA:6 Pasukan Elite TNI yang Disegani Dunia, dari Kopassus hingga Denjaka
Di dalam hatinya bertanya tanya, ada apa ini? Sang komandan tidak memberikan keterangan lebih lanjut tentang situasi di lapangan yang bisa dijadikannya acuan dalam bertindak. Apa yang harus dilakukan? Memang sejak beberapa hari sebelumnya, Soegito sudah mendengar desas-desus rencana mahasiswa turun ke jalan untuk menentang kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta. Apakah ada kaitannya dengan itu? Ternyata memang benar.
Peristiwa yang kemudian dikenal dengan Malari itu adalah demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi di Jakarta pada 15 Januari 1974. Peristiwa Malari merupakan suatu gerakan mahasiswa yang merasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah, terkait kerja sama dengan pihak asing untuk pembangunan nasional. Para mahasiswa menganggap kebijakan pemerintah sudah menyimpang dan tidak berhaluan lagi kepada pembangunan yang berpihak kepada rakyat.
Mahasiswa menilai malah dengan kerja sama ini semakin memperburuk kondisi ekonomi rakyat. Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), lembaga pemodal asing bentukan Amerika Serikat, Jan P Pronk dijadikan momentum awal untuk demonstrasi antimodal asing ini.
BACA JUGA:Menguak Perbedaan Ekstrem Latihan Militer Pasukan Khusus Denjaka Vs Kopassus, Nyawa Jadi Taruhan!
Pronk tiba di Jakarta pada Minggu 11 November 1973. Ketika tiba di Bandara Kemayoran, mahasiswa menyambutnya dengan berdemonstrasi. Puncaknya adalah saat kunjungan PM Jepang dari 14-17 Januari itu.
"Waduh, bagaimana ini, anggota kan sudah pada pulang semua dan sebagian besar anggota kan tinggal di luar asrama," gumam Perwira Pertama RPKAD ini saat meninggalkan ruangan Danjen. Tapi ia harus bergerak cepat. Soegito segera memanggil seluruh perwira untuk segera mengumpulkan anggota, sedapatnya.