JAKARTA - Di apotek miliknya yang terletak di kawasan bersejarah Bab al-Shaaria, pusat Kota Kairo, ahli herbal Rabea al-Habashi memperlihatkan racikan yang dia juluki "ramuan ajaib".
Nama Habashi dikenal sejumlah warga kota karena menjual afrodisiak dan pembangkit gairah seksual alami lainnya.
BACA JUGA:Kecelakaan Beruntun Truk-Mobil-Odong-Odong Terjadi di Ring Road Cengkareng, 1 Lansia Tewas
Selama beberapa tahun terakhir dia mengamati adanya perubahan selera dari para pelanggannya.
"Kebanyakan pria kini mencari pil biru yang mereka dapatkan dari perusahaan-perusahaan Barat," ujarnya dilansir dari BBC, Kamis (16/2/2023).
Pengamatan Habashi klop dengan hasil sejumlah kajian yang menunjukkan kaum muda Arab semakin banyak membeli obat-obatan seperti sildenafil (dikenal dengan nama komersial Viagra), vardenafil (Levitra, Staxyn), dan tadalafil (Cialis).
BACA JUGA:Resmikan Sumur Air Bersih di Lombok, Prabowo: Jangan Hamburkan Air, Itu Penting!
Meski demikian, sebagian besar pria muda yang BBC wawancarai di Mesir dan Bahrain membantah menggunakan obat untuk menangani lemah syahwat.
Mereka bahkan mengaku tidak tahu obat-obatan tersebut. Ada pula yang langsung menolak membahas topik tersebut karena menganggapnya "bertentangan dengan moral masyarakat".
Faktanya, berdasarkan kajian pada 2012, Mesir adalah pelanggan obat anti-impoten terbesar per kapita kedua di antara negara-negara Arab.
Posisi pertama adalah Arab Saudi
Al-Riyadh, harian Saudi yang menerbitkan laporan tersebut, memperkirakan saat itu warga Saudi telah menghabiskan US$1,5 miliar (Rp22,2 triliun) per tahun untuk obat-obatan anti-impoten.
Konsumsi warga Saudi tergolong 10 kali lipat lebih tinggi dari konsumen Rusia, yang populasinya lima kali lebih banyak, menurut surat kabar itu.
Baru-baru ini, hasil kajian the Arab Journal of Urology menunjukkan bahwa 40% responden pria muda Saudi pernah menggunakan obat seperti Viagra setidaknya sekali dalam hidup mereka.
Adapun Mesir, berdasarkan statistik resmi negara itu pada 2021, penjualan obat anti-impoten di sana mencapai US$127 juta (Rp1,8 triliun) per tahun, yang setara dengan 2,8% dari seluruh nilai penjualan farmasi di negara tersebut.