Sikap nasionalisme itu bertentangan dengan garis pemikiran para wulaiti yang tetap berorientasi politik dan ekonomi ke Hadramaut. Drama Fatimah yang berisi lakon delapan babak dianggap para wulaiti sebagai kritik keras dari orang-orang PAI.
“Mereka merasa diinjak-injak oleh isi drama itu, yang dianggap membidik mereka”.
PAI kaget dengan keributan yang ditimbulkan oleh drama Fatimah, namun tidak gentar menghadapi tuduhan dan permusuhan. A.R Baswedan, dalam tulisannya di jurnal Insaf dan Aliran Baroe menilai kaum wulaiti tidak tahu apa-apa tentang teater dan kesulitan menilai teater dengan benar.
PAI meminta khalayak ramai tidak membangkitkan kebencian, tapi mempelajari naskah Fatimah dengan seksama. Pada pertengahan tahun 1939 drama Fatimah dipentaskan di Cirebon, Jawa Barat.
Yang terjadi, kegaduhan pecah di Surabaya, Jawa Timur sebagai reaksi pementasan Cirebon. Keributan dilakukan oleh orang-orang yang membawa revolver, kelewang, golok, dan pisau belati. Mereka menolak drama Fatimah dimainkan.
Pertunjukkan pun dibatalkan di tengah jalan. Begitu juga pementasan di Batavia (Jakarta) di tahun yang sama, juga batal. Para pemuka wulaiti bahkan menghubungi konsul Inggris di Batavia untuk memprotes pemerintah kolonial Hindia Belanda.