Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Malaysia Digugat 137 Warga Pribumi, Minta Status Islam Mereka Dihapus

Muhammad Fadli Rizal , Jurnalis-Kamis, 30 Maret 2023 |12:39 WIB
Malaysia Digugat 137 Warga Pribumi, Minta Status Islam Mereka Dihapus
Ilustrasi berdoa (Foto Freepik)
A
A
A

MALAYSIA - Malaysia menghadapi gugatan dari 137 warga pribumi. Ratusan warga itu meminta pengadilan membatalkan status mereka sebagai pemeluk Islam.

Para warga pribumi yang berasal dari Etnis Bateq Mayah itu diduga ikut dalam acara mualaf massal pada 30 tahun lalu.

Dikutip dari Malaysiakini, Kamis (30/3/2023) setelah puluhan tahun memeluk Islam, kini mereka mengajukan somasi ke Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur. Somasi itu dilakukan pada 28 September 2022 melalui firma hukum Fahri Azzat & Co.

 BACA JUGA:

Mereka menggugat Departemen Pembangunan Orang Asli (Jakoa), direktur dan pejabatnya, Dewan Agama Islam dan Adat Melayu Pahang (Muip), pemerintah negara bagian, dan pemerintah federal.

Etnis Bateq Mayah itu menuduh perpindahan agama yang salah dan tidak sah itu dilakukan di rumah mereka di Kampung Benchah Kelubi, Merapoh, Kuala Lipis, Pahang, pada bulan April 1993.

Para penggugat menyatakan bahwa pada awal tahun 1993, seorang perwakilan Jakoa meminta dua kepala desa untuk tidak hanya masuk Islam tetapi juga membujuk warga desa lainnya untuk melakukan hal yang sama.

Mereka mengklaim awalnya penduduk desa menolak. Namun, akhirnya mereka mendapat ancaman dari seorang petugas. Ancaman itu berupa pengrusakan rumah dan tanaman di kebun hingga mengejar dan menyiksa warga. Selain itu, mereka juga mengatakan petugas itu melarang warga melakukan perjalanan ke luar desa.

Para penggugat mengatakan bahwa penduduk desa tidak diberi informasi terkait konsekuensi memeluk Islam. Yakni mereka harus tunduk pada sistem hukum Islam Pahang dan setiap anak yang mereka miliki akan menjadi muslim secara otomatis.

Singkat cerita mereka mengaku diminta membaca kalimat Syahadat meski mereka tak mengerti artinya. Kala itu, mereka juga mengaku tak bisa mengucapkan kalimat Syahadat dengan benar.

Setelah melakukan Syahadat, mereka mulai beribadah dengan cara islam. Kendati demikian, di saat yang bersamaan mereka juga tetap mempraktikkan kepercayaan budaya dan agama Bateq.

Memasuki tahun 2000-an, mereka mulai bisa membaca dan menemukan kata Islam di dalam kartu tanda penduduk mereka.

 BACA JUGA:

Pada tahun 1993, para tergugat secara salah mengeksploitasi pengaruh mereka terhadap penduduk asli di desa tersebut dan, melanggar kewajiban mereka kepada mereka, secara tidak sah, secara ilegal dan menggunakan paksaan untuk mengubah mereka menjadi Islam," lanjut pernyataan penggugat.

“Dengan melakukan itu, mereka melanggar kewajiban mereka untuk melindungi dan melestarikan kepercayaan budaya dan agama masyarakat tersebut,” imbuh penggugat.

Mereka meminta pengadilan untuk menyatakan sejumlah hal, termasuk bahwa penggugat tidak mempraktikkan Islam, bahwa setiap anak yang lahir dari mereka setelah pengajuan gugatan ini tidak mempraktikkan Islam, dan bahwa penggugat memiliki kebebasan untuk memperhatikan dan mengakui keyakinan spiritual dan budayanya sendiri tanpa campur tangan dari para tergugat.

Selain itu, mereka meminta ganti rugi umum untuk ditentukan oleh pengadilan, ganti rugi yang patut dicontoh dan/atau memberatkan, biaya, bunga 5% dari jumlah keputusan yang diberikan, dan bantuan lain yang dianggap sesuai oleh pengadilan.

(Widi Agustian)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement