Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Berhasil Kabur dari Tahanan, Alex Kawilarang Kembali Ditahan dan Disiksa Jepang

Erha Aprili Ramadhoni , Jurnalis-Rabu, 14 Juni 2023 |07:09 WIB
Berhasil Kabur dari Tahanan, Alex Kawilarang Kembali Ditahan dan Disiksa Jepang
Kolonel Alex Kawilarang (repro buku Kolonel AE Kawilarang, Panglima Pejuang & Perintis Kopassus)
A
A
A

ALEXANDER Evert Kawilarang meniti karier kemiliteran di pendidikan CORO (Corps Opleiding Reserve Officieren) atau Korps Pendidikan Perwira Cadangan, serta KMA (Koninklijke Militaire Academie) alias Akademi Militer Kerajaan Belanda di Jatinegara.

Ia meniti karier kemiliteran setelah lulus pendidikan dasar dan menengah. Ia mengikuti jejak ayahnya yakni AHH Kawilarang yang merupakan pensiunan perwira KNIL (Koninklijke Nederlands Indisch Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda berpangkat mayor.

Tak lama menempuh pendidikan di KMA, Kawilarang sudah harus ikut mobilisasi menghadapi invasi Jepang pada 1942. Belanda menyerah di Kalijati. Semua prajurit KNIL pun ditahan, termasuk Kawilarang.

Kawilarang dimasukkan ke kamp interniran Depot Bandung (kini Gedung Rindam III Siliwangi di Jalan Manado). Sehari sebelum para tahanan akan digunduli Jepang, Kawilarang berencana kabur dari penjara.

Pasalnya, jika digunduli, akan lebih sulit kabur karena akan lebih mudah diketahui, meski sudah berada di luar kamp interniran. Hujan deras di malam hari mengiringi upaya lolosnya Kawilarang dari penjara bersama enam rekannya pada 20 April 1942. Mereka harus melewati selokan. Upaya keras itu berbuah hasil.

Sebelum memutuskan keluar dari Pulau Jawa, Kawilarang sempat pulang ke rumahnya menemui ayah dan ibunya, Nelly Betsy Mogot. Sang ibu kaget ketika mendapati putra bungsunya di ambang pintu dengan keadaan compang-camping.

“Apa-apaan ini?,” cetus Nelly Mogot yang kaget melihat putranya, sebagaimana dikutip dari buku ‘Kolonel AE Kawilarang: Panglima Pejuang & Perintis Kopassus’ karya Hikmat Israr terbitan 2010.

Setelah Kawilarang bersih-bersih dan berganti pakaian, sang ibu yang cemas akan nyawa anaknya justru menyuruhnya kembali ke kamp tahanan Jepang.

“Kamu bisa ditembak mati kalau tertangkap lagi. Ayo, kembali saja ke sana,” seru sang ibu.

Namun, sang ayah yang sudah lebih paham akan maksud putranya untuk kabur dari Bandung menginstruksikan putranya untuk tetap kabur. Setelah mendengarkan rencana Kawilarang untuk lebih dulu ke Lengkong menemui seorang famili dan kemudian ke Jakarta, sang ayah menyetujui.

“Selamat, selamat! Kalau ada jalan, beri tahu kami, di mana kamu berada. Selamat!,” ungkap sang ayah yang kemudian memeluk Kawilarang sebelum putranya pergi lagi.

“Selamat tinggal Mam, Ayah. Doakan Alex!,” cetus Kawilarang yang kala itu tidak tahu bahwa kalimat tersebut jadi kata-kata terakhirnya untuk sang ayah yang meninggal beberapa waktu kemudian.

Sebagai selingan, ayah Kawilarang tewas bersama ribuan tahanan interniran dan romusha di perairan dekat Padang. Ketika itu, ayahnya dibawa Jepang setelah ditangkap di Bandung, untuk kemudian hendak dibawa ke Sumatera. Tapi di perjalanan, kapal Jepang yang membawa ayahnya ditenggelamkan kapal perang Inggris.

Kembali ke kisah Kawilarang, pada Medio Februari 1943 Kawilarang sempat jadi buruh perkebunan di Serpong. Lantas pindah lagi ke Plaju, Sumatera Selatan untuk bekerja di pabrik minyak.

Tak betah bekerja sebagai penerjemah Bahasa Inggris selama tiga bulan di Plaju, Kawilarang resign dan sempat nganggur, sebelum akhirnya bekerja lagi di pabrik karet di Tanjung Karang, Lampung. Sayangnya, ketika bekerja di Lampung inilah Kawilarang terjaring razia Kempeitai, Kepolisian Rahasia Jepang yang dikenal bengis.

Disiksa Jepang

Kempeitai rutin menggelar razia untuk mencari orang-orang pribumi asal Manado dan Ambon. Jepang menganggap, orang-orang Manado dan Ambon adalah “anak emas” Belanda dan pasti bekas tentara KNIL.

November 1943 ketika tengah istirahat, Kawilarang diciduk dan sempat sehari didiamkan di sebuah sel sempit yang pengap dan bau. Tapi siksaan semacam itu belum seberapa dibanding yang akan dialaminya kemudian.

Tiba saat diinterogasi, Kawilarang dicecar banyak pertanyaan dan diintimidasi untuk mengaku sebagai mantan tentara Belanda. Jelas Kawilarang enggan mengakui dan berbohong bahwa sebelumnya, dia merupakan mahasiswa Technische Hoge School (THS) atau kini Institut Teknologi Bandung (ITB).

Interogator Kempeitai yang tak percaya kemudian melancarkan aksi penyiksaan yang tak terperikan. Tubuhnya disundut rokok, disabet dengan ikat pinggang, hingga digantung dengan posisi tangan terikat di belakang.

Nyaris Kawilarang berkeinginan dalam hati untuk mati saja, sampai akhirnya dia teringat pesan ibunya untuk selalu berdoa. Sempat dia ditinggalkan dengan posisi tergantung dengan tangan terikat di belakang. Tapi mentalnya juga turut tersiksa mendengar jeritan tawanan lain di kamar sebelah.

Siksaan Kawilarang pada hari nahas itu hanya sampai situ. Setelah ikatannya dilepas, tubuh Kawilarang langsung roboh tak berdaya. Setelah diperintahkan berdiri, Kawilarang “dipersilakan” keluar dari kamp tahanan.

Dia sempat berobat lebih dulu sebelum kembali bekerja di pabrik karet. Para pegawai lain yang melihat bekas-bekas lukanya, seolah sudah maklum.

Tapi sialnya pada Juni 1944, Kawilarang kembali terjaring razia yang kali ini dilakukan Keimubu (Polisi Jepang). Siksaan yang pernah dilakukan Kempeitai sebelumnya, dirasakan Kawilarang lagi.

Ditambah, mulutnya dipaksa dijejali air 20 ember yang kemudian, tubuhnya diinjak-injak. Penyiksaan “waterproof” ini dilakukan berulang-ulang kali. Seolah tidak puas, pemukulan juga dialami, sekaligus perutnya ditusuk-tusuk garpu. Luka di perut ini tak pernah hilang hingga akhir hayatnya.

Kawilarang juga akhirnya dilepas lagi setelah ditahan 40 hari dan menjalani 17 kali penyiksaan. Desas-desus Jepang kembali melakukan razia juga terdengar dan beruntunglah bagi Kawilarang, karena Jepang keburu menyerah pada sekutu pada 15 Agustus 1945.

Berita Proklamasi 17 Agustus 1945 pun juga didengarnya via radio sehari setelahnya. Sejak saat itu, Kawilarang pilih mengabdikan dirinya pada republik yang baru lahir – tidak kembali jadi perwira KNIL.

Garis perjuangannya tertoreh bersama anak-anak (pasukan) Siliwangi di masa revolusi fisik 1945-1949 dan bahkan di kemudian hari, jadi perintis Komando Pasukan Khusus (Kopassus), satuan elite TNI AD.

Terlepas dari berbagai dinamika dalam kariernya, mulai dari kasus penempelengan Soeharto (kelak jadi Presiden kedua RI), hingga terlibat Permesta, Kawilarang yang pensiun dengan pangkat Kolonel dijadikan warga kehormatan Kopassus pada 1999, atau setahun sebelum meninggal pada 6 Juni 2000 di usia 80 tahun.

(Erha Aprili Ramadhoni)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement