JAKARTA – Pada 1955, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) untuk pertama kalinya sejak memproklamirkan kemerdekaan satu dekade sebelumnya. Penyelenggaraan pesta politi perdana ini diikuti lebih dari dua lusin partai politik dan perorangan yang berusaha duduk di parlemen.
Mungkin karena masih awam dengan konsep pemilihan umum, masa kampanye Pemilu 1955 alih-alih menjadi sarana kader untuk mensosialisasikan program partai kepada rakyat, justru menjadi ajang serang para partisipan, terutama partai-partai besar seperti PNI, NU, Masyumi, PKI, dan PSI.
Atribut-atribut partai pun menjadi target serangan politik demi memperoleh suara.
“Di daerah-daerah tertentu di Jawa, Masyumi diserang atas dasar takhayul bahwa bulan dan bintang, tanda gambar Masyumi, lambang kejahatan,” demikian dikutip dari buku Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, (1971).
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) adalah organisasi federasi berbasis Islam yang berdiri pada 24 Oktober 1943. Empat bulan setelah proklamasi kemerdekaan RI, tepatnya pada 8 November 1945, Masyumi menjadi partai politik. .
Pada Pemilu 1955, Masyumi memposisikan sebagai lawan tangguh PKI. Dalam mengambil hati rakyat, Masyumi menegaskan sebagai partai dengan tokoh yang paling banyak berjasa dalam revolusi kemerdekaan Indonesia.
Kala itu Partai Masyumi menjadi salah satu partai kuat, bersaing dengan PNI dan PKI, dan berusaha mendapatkan suara rakyat dengan mengedepankan diri sebagai partai dengan paling banyak tokoh yang berjasa dalam revolusi kemerdekaan Indonesia.
“Slogan Masyumi paling favorit mengatakan Masyumi selalu maju ke depan sebagai pemimpin setiap kali timbul keadaan yang sulit”.
Selama masa kampanye Pemilu 1955, logo Masyumi yang bergambar bulan dan bintang menjadi sasaran, dengan lawan politik menudingnya sebagai “lambang kejahatan”.
Partai Masyumi juga tidak tinggal diam dan melancarkan serangan kepada Partai NU, mengatakan bahwa menusuk gambar Partai NU, yang mengandung huruf Arab yang suci, pada kertas suara, sama halnya menodai kesuciannya.
Sebagai organisasi keagamaan yang menganut paham ahlusunnah waljamaah, NU dan Masyumi menargetkan massa dari golongan ulama atau pesantren, dan saling serang dengan harapan bisa mendulang lebih banyak suara.
“Masyumi dan NU berupaya membangun organisasinya di atas bahu pemuka agama di desa, kiai atau guru ngaji kalau ada, haji kalau ada, pengurus masjid kalau ada atau pejabat agama pada dewan desa,” dikutip dari buku Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.
Serangan terhadap partai tidak hanya terjadi pada NU dan Masyumi, tetapi juga dialami oleh PNI, partai yang menyasar kaum nasionalis. PNI memakai hewan banteng sebagai logo partai, mengibaratkan rakyat Indonesia yang sabar dan tidak cepat naik darah, namun sekali marah akan mengamuk tanpa ampun.
Sementara PSI (Partai Sosialis Indonesia) pimpinan Sutan Sjahrir memakai logo bintang lima segi. PSI di Jawa Tengah dan Jawa Timur memakai penafsiran takhayul Jawa, yakni mimpi kejatuhan bintang sama halnya akan mendapat rezeki.
Partai kiri PKI sebagaimana diketahui, mengunakan logo palu arit, yang merupakan lambang dari sosialisme dan komunisme. PKI memakai slogan sederhana “PNI partai priyayi, Masyumi dan NU partai santri, tetapi PKI partai rakyat”.
Pada akhirnya, PNI keluar sebagai pemenang pada Pemilu 1955, disusul oleh Masyumi, NU, PKI, dan PSSI. Sedangkan PSI berada pada urutan kedelapan, yakni di bawah perolehan suara Parkindo dan Partai Katolik.
(Rahman Asmardika)