INDIA ternyata tidak hanya membantu Indonesia dalam hal diplomasi di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tapi juga aksi nyata desersi Pasukan Inggris berdarah India, hingga kisah-kisah pemberian senjata untuk para kombatan kemerdekaan di masa revolusi.
Ratusan pasukan British India dari Resimen Gurkha, terutama yang juga beragama muslim, bersimpati, membelot dan menyalurkan senjata buat Tentara Keamanan Rakyat (TKR, kini TNI). Hal itu dilakukan pada serangkaian kejadian sebelum dan sesudah Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.

Gua Grubug dan Tembakan Pencabut Nyawa Massa PKI Usai Magrib
Buku ‘British Occupation of Indonesia: 1945-1946’ mengungkap, intelijen Inggris mendapati beberapa anggota Divisi ke-23 India, bersimpati dan melakukan desersi, hingga membelot, akibat propaganda Indonesia melalui radio.
Sebagaimana yang dituliskan A.G. Khan dalam tulisannya di Milli Gazette 2012 lalu, tercatat sekira 600 tentara India muslim justru desersi dan membelot ke kelompok perjuangan Indonesia, disertai bawaan persenjataan dan amunisi sebagai “hadiah”.
Simpati mereka tak lepas dari kesamaan agama, tatkala banyak kombatan Indonesia yang hendak menyerang tangsi-tangsi Inggris, diawali teriakan “Allahu Akbar”. Sontak, para tentara India itu pun memilih meletakkan senjata dan mengibarkan bendera putih, tanda menolak saling membunuh sesama muslim.
Buku ‘Forgotten Wars: Freedom dan Revolution in Southeast Asia’ juga mengungkap cerita ini, di mana para tentara India di Jawa Barat, pilih menyerahkan senjata saat sekelompok laskar menyerang dengan seruan “Allahu Akbar”. Selain menyerah, tentara India itu turut memberikan bantuan suplai makanan, senjata, hingga rokok.
BACA JUGA:
Saat revolusi berakhir, hanya sekira 75 di antara mereka yang masih hidup dan kebanyakan, enggan pulang ke India, serta memilih tinggal, menikah dengan orang Indonesia dan hidup di Tanah Air.
Simpati lainnya juga pernah ditunjukkan Brigade I dari Divisi 32 British India yang dikomandani Abdul Matin dan Ghulam Ali.
Sebagaimana yang tertulis di buku ‘The Role of Pakistan During the Indonesia Struggle’, mereka acap menolak perintah Inggris, lantaran merasa senasib sebagai bangsa terjajah seperti halnya Indonesia.
Tokoh seperti Ghulam Ali bersama ratusan pasukan muslim India, pernah dikisahkan menyalurkan pakaian, makanan dan perlengkapan medis lainnya kepada Indonesia. Figur lain seperti Mayor Ahmad Husein, bahkan ikut membelot dan bergabung ke TKR untuk kemudian, memimpin Resimen III berpangkat Letnan Kolonel.
Kisah lain tentang pembelotan tentara India juga pernah dilakukan Ghulan Rasul dan tujuh rekannya. Pada suatu ketika, bahkan mereka acap menggelar pertemuan rahasia, di mana komunikasi mereka menggunakan kode “Assalamualaikum”, ketika bersua dengan beberapa petinggi Divisi Siliwangi.
“Saya tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan rasa syukur. Pada hari-hari nan suram saat revolusi, mereka (kombatan Indonesia) rela berkorban demi kemerdekaan. Hal ini jangan pernah dilupakan bangsa Indonesia sendiri,” ungkap seorang tentara British India, Nip M. Karim di buku yang sama.
Tidak hanya itu, beberapa tentara India diketahui juga pernah menyelamatkan Presiden RI pertama, Soekarno, kala disergap tentara NICA (Nederlandsch-Indische Civiele Administratie). Soekarno selamat tanpa terluka meski mobilnya hancur.
Banyak di antara tokoh-tokoh militer dari pasukan British India, yang kemudian jadi figur penting, baik di India maupun Pakistan setelah merdeka 1947. Sebut saja Lance Naik Mir Khan, Gilmar Bani, Muhammad Yacub, Umar Din, Abdul Sattar, Muhammad Sidik, Muhammad Khan, serta Senjah Fazul Din.
Bahkan mantan Presiden Pakistan, Muhammad Zia-ul-Haq, pernah bertugas di Indonesia dan sempat terkejut melihat banyaknya masjid di Surabaya. Saat diberangkatkan, Zia-ul-Haq mengaku tak tahu-menahu tentang Indonesia yang ternyata, berpenduduk mayoritas muslim.
Zia-ul-Haq bersama pasukannya pun menolak berperang karena sadar bahwa yang mereka lawan, tak lain adalah saudara sesama muslim. Saat menjabat Presiden Pakistan, Zia-ul-Haq pernah berkunjung ke Indonesia pada medio 1980-an.
Kala itu, dia pernah meminta kepada Presiden RI kedua, Soeharto, untuk bisa memperpanjang kunjungannya demi menyambangi Surabaya dengan tujuan “nostalgia”.
(Qur'anul Hidayat)