Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kisah Pangeran Diponegoro Masuk ke Hutan-Hutan Demi Hindari Prajurit Belanda

Susi Susanti , Jurnalis-Jum'at, 28 Juli 2023 |06:01 WIB
Kisah Pangeran Diponegoro Masuk ke Hutan-Hutan Demi Hindari Prajurit Belanda
Pangeran Diponegoro (Foto: Istimewa/Okezone)
A
A
A

JAKARTA – Kisah kehidupan Pangeran Diponegoro selalu menarik untuk diulas. Pangeran Diponegoro diketahui nyaris tertangkap di Kali Progo oleh pasukan Belanda pada 11 November 1829. Hal ini terungkap dalam buku ‘Kuasa Ramalan’, karya sejarawan Peter Carey.

Menurut buku itu, Diponegoro memutuskan untuk masuk ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen dengan hanya ditemani dua punakawan (pengiring terdekat), yakni Bantengwareng dan Roto, yang melayani semua kebutuhan Pangeran dan bertindak sebagai penunjuk jalan dan penasihatnya (Louw dan De Klerck 1894-1909,V:423; Carey 1974a:25).

Pengembaraan ini membawa Diponegoro sampai ke Sampang di daerah Remo di hulu Kali Cincingguling, kawasan yang jauh antara Bagelen dan Banyumas, tempat di mana ia terus menetap sampai 9 Februari 1830, ketika negosiasi-negosiasi awal dengan Kolonel Jan Baptist Cleerens (1785-1850) mulai.

Berikut ini adalah petikan tulisan George Nypels, sejarawan militer Belanda dan instruktur di Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda, dalam diktat kuliah yang diberikannya tentang Perang Jawa (Nypels 1895:153):

“Terus bergerak karena dikejar-kejar, Diponegoro mampu meluputkan diri dari kejaran empat pasukan gerak cepat Belanda […] dan juga barisan tentara lokal sejak Oktober 1829 hingga Februari 1830. Berkelana di pegunungan dan menembus hutan lebat yang masih perawan, bersembunyi di gua-gua, mencari bantuan di mana itu dimungkinkan di tengah hujan lebat dan angin kencang.”

“Ia sering bisa menghindar ketika orang [pejabat atau perwira Belanda] merasa ia dekat. Jumlah pengikut terdekatnya satu demi satu tewas atau menyerah.”

“Ia menderita serba kekurangan: sering tidak punya tempat berteduh (di waktu malam) dan sering tanpa cukup makanan; ia menemukan bahwa penduduk setempat sudah enggan membantunya.”

“Pada Januari 1830, bahkan patihnya sendiri yang setia [Raden Adipati Abdullah Danurejo] pergi membelot ke pihak Belanda. Sekalipun menderita luka di kakinya [dan baunya] dan terkena sakit malaria yang membuat fisiknya sangat lemah, ia menanggung dengan tabah semua derita ini sampai 9 Februari 1830 [ketika negosiasinya dengan Kolonel Cleerens dimulai, hlm. 346-54].”

Berjalan terseret-seret karena kelelahan dan serangan malaria di sepanjang jalan setapak badak ke gubuk-gubuk petani, di situ ia bersembunyi selama lebih dari tiga bulan, antara pertengahan November 1829 dan awal Februari 1830 (Louw dan De Klerck1894-1909, V:525-6; Carey 1981b:56 catatan 10; hlm. 42).

Pangeran barangkali merenungkan bahwa sekalipun kekalahannya tak terhindarkan—demikian menurut ramalan Parangkusumo (hlm. 67-8)—kekalahan tersebut tentulah dipercepat oleh konsesinya pada Sentot yang mendatangkan bencana persis setahun sebelumnya.

Di mata para panglima lapangan Belanda, tertangkap atau matinya Pangeran Diponegoro di medan perang, hanya bisa jadi soal keberuntungan, kebetulan, atau takdir.

Hal yang sama dapat dikatakan untuk banyak barang pribadi Diponegoro. Sungguh luar biasa bahwa ada beberapa benda bersejarah yang selamat dari Perang Jawa dan masih dapat dilihat di Museum Nasional.

Benda-benda bersejarah asli memiliki kemampuan magis untuk menjembatani kesenjangan antara masa kini dan masa lalu, dan pelana serta kendali kuda yang ditunggangi Diponegoro dalam pertempuran menghidupkan masa-masa Perang Jawa.

Ada dua catatan Belanda karena baik kuda Diponegoro maupun kekang dan pelana disebutkan.

Akun pertama, diterbitkan pada 1902, ditulis untuk memuliakan eksploitasi pasukan kavaleri Belanda yang berpartisipasi dalam Perang Jawa.

Penulisnya menggambarkan bagaimana pada akhir September 1829 saat Diponegoro dan pasukan berkuda menyeberang Kali Progo Pangeran hampir ditangkap di atas kuda saat bertunangan dengan prajurit berkuda Belanda. Teks tersebut berbunyi:

“Di tengah perjuangan mereka [pasukan Belanda] tiba-tiba melihat seorang penunggang kuda hitam yang bagus, diikuti oleh sekitar tujuh puluh pengikut yang juga menunggang kuda, berlomba menuju pintu keluar barat lembah. Dengan sorban gelap, kabaya hijau melambai dan sutra putih di bawah pakaian, mereka mengenali kepala pemberontak [Diponegoro].”

“Ketika mereka sampai di Kali Progo, Diponegoro dan para pengikutnya menceburkan diri ke sungai, tetapi begitu juga para pengikutnya hampir bersamaan agak lebih ke hulu.”

“Ketika dia sampai di seberang sungai, Pangeran yang melarikan diri, meskipun dilindungi olehnya pengikut setianya, segera diserang oleh prajurit berkuda Belanda Doorenboom, yang dengan usaha keras mencapai sisi lain hampir pada waktu yang bersamaan.”

“Dia berlari kencang di sepanjang sisi Diponegoro, menembakkan pistolnya, tetapi meleset. Kemudian dia mencoba untuk meraih kendali kuda Pangeran [...] tetapi pada saat itu dia jatuh mati dari kudanya, terkena banyak tombak pengawal pribadi Diponegoro.”

(Susi Susanti)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement