JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan kendala dalam menangkap buron kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP, Paulus Tannos di luar negeri. Salah satunya, belum ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara tempat persembunyian Paulus Tannos.
"Yang jelas itu kan keberadaan yang bersangkutan sudah diketahui di negara tetangga. Tapi kita belum punya perjanjian ekstradisi," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (16/8/2023).
Oleh karena itu, kata Alexander, KPK membuka opsi untuk melakukan pemeriksaan terhadap Paulus Tannos di negara tersebut. KPK bakal berkoordinasi dengan otoritas negara itu untuk memeriksa Paulus Tannos.
"Paling yang bisa kita lakukan minta bantuan otoritas setempat. Misalnya, kalau kita mau periksa, bisa enggak kita melakukan pemeriksaan, sudahlah di sana," ungkap Alex, sapaan karib Alexander Marwata.
"Karena kan kita enggak bisa juga menjemput paksa, kan gitu. Kecuali yang bersangkutan secara sukarela mau. Kayak dulu Gayus kan, kita ke sana. Kan seperti itu kejadiannya," sambungnya.
Sebagaimana diketahui, Paulus Tannos merupakan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra. Ia salah satu tersangka kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP. Saat ini, Paulus Tannos masih buron. Kabar terakhir, Tannos sempat terdeteksi berada di Thailand.
Bahkan, aparat penegak hukum sudah menemukan lokasi Paulus Tannos di Thailand. Namun, saat hendak ditangkap, ternyata Paulus Tannos belum masuk dalam sistem red notice Interpol. Upaya penangkapan terhadap Paulus Tannos di Thailand gagal.
Usut punya usut, Paulus Tannos tenyata berganti nama. Bukan hanya ganti nama, temuan terbaru KPK menyebut Tannos juga mengubah paspornya. Oleh karenanya, buronan tersebut tidak terlacak dalam sistem keadministrasian. Hal itu, juga berpengaruh pada sistem red notice yang tidak bisa mendeteksi identitas baru Tannos.
(Erha Aprili Ramadhoni)