Warga terpaksa melakukan rutinitas ini sejak puluhan tahun lalu karena mata air tersebut menjadi satu-satunya sumber air yang bisa mereka dapatkan. Dikatakannya, warga sekitar enggan membuat sumur lantaran biaya yang cukup mahal serta sulit mencari titik lokasi sumber air.
"Kadang sudah bikin sumur dalam-dalam sampai belasan meter tapi tidak keluar air. Biayanya juga mahal, jadi warga memanfaatkan apa yang ada saja," imbuhnya.
Menurut yang dia ketahui dari cerita pendahulunya, sumber mata air ini tak pernah berhenti sekali pun. Namun, seiring berjalannya waktu, debit air menjadi semakin berkurang karena warga yang menggunakan semakin bertambah jumlahnya.
"Kalau dulu, cerita si mbah saya, warga ngambil airnya bukan pakai selang, tapi cuma pakai bambu dan jumlahnya nggak banyak kayak sekarang. Kalau sekarang karena banyak yang pakai, debitnya jadi semakin kecil, apalagi pas musim kemarau," ucapnya.
Dari satu sumber mata air ini, warga menggunakannya untuk keperluan rumah tangga dan perkebunan. Dalam sehari, mereka bisa tiga kali menyedot air dari pagi hingga malam hari.
"Ya kalau ngambil air tiga kali, pagi itu jam tujuh, siang jam dua belasan kalau malam jam sembilan," pungkasnya.
Warga lainnya, Jadin (56) mengungkapkan bahwa dirinya juga menjadi salah satu orang yang ikut memanfaatkan sumber mata mata air tersebut. Air itu ia alirkan untuk menyiram perkebunan miliknya.
"Untuk sawah kalau saya. Biasanya, kalau yang ngambil untuk sawah itu nggak ngambil untuk di rumah, tapi kalau ngambil untuk di rumah, ya nggak ngambil untuk di sawah, bagi-bagi sama tetangga," katanya.