Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Turun Drastis, Survei Terbaru Ungkap Hanya Sepertiga Kaum Muda Korsel Punya Persepsi Positif Soal Pernikahan

Susi Susanti , Jurnalis-Rabu, 30 Agustus 2023 |17:43 WIB
Turun Drastis, Survei Terbaru Ungkap Hanya Sepertiga Kaum Muda Korsel Punya Persepsi Positif Soal Pernikahan
Laporan terbaru ungkap hanya sepertiga kaum muda Korsel punya persepsi positif terhadap pernikahan (Foto: Ilustrasi/iStockphoto)
A
A
A

SEOUL – Bukan rahasia lagi bahwa generasi muda Korea Selatan (Korsel) semakin menghindari pernikahan dan menjadi orangtua. Penurunan tajam angka kelahiran di negara tersebut adalah bukti nyata dari hal tersebut.

Namun laporan baru pemerintah menggarisbawahi betapa drastisnya tren tersebut telah meningkat selama dekade terakhir, sehingga menimbulkan masalah demografis bagi negara yang menua ini di tahun-tahun mendatang.

Laporan tersebut, yang mensurvei penduduk berusia antara 19 dan 34 tahun setiap dua tahun, dirilis pada Senin (28/8/2023) oleh Badan Statistik resmi Korea.

Ditemukan bahwa hanya 36,4% responden yang disurvei tahun lalu mengatakan mereka memiliki persepsi positif terhadap pernikahan – turun dari 56,5% pada 2012.

Penurunan ini mencerminkan meningkatnya tekanan terhadap generasi muda Korea Selatan. Termasuk permasalahan ekonomi seperti perumahan yang tidak terjangkau dan meningkatnya biaya hidup.

Dikutp CNN, alasan umum yang disebutkan dalam laporan mengenai anak muda yang tidak menikah adalah karena tidak mempunyai cukup uang untuk menikah, dan perasaan bahwa hal itu tidak diperlukan.

Dan di antara sepertiga responden yang memiliki persepsi positif terhadap pernikahan, hasil yang diperoleh sangat condong ke arah laki-laki – dengan hanya 28% perempuan yang memberikan tanggapan positif.

Mungkin ada berbagai alasan untuk hal ini. Banyak perempuan Korea Selatan mengatakan kepada CNN pada 2019 bahwa mereka memiliki kekhawatiran akan keamanan saat berkencan, hal ini diperburuk oleh berita terkenal tentang kejahatan seks, voyeurisme, dan diskriminasi gender.

Kemajuan perempuan di bidang pendidikan dan pekerjaan juga berarti “biaya peluang untuk menikah” bagi perempuan saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Dengan menikah, mereka mungkin harus berkompromi dengan karir atau pendidikan mereka, terutama mengingat norma gender yang sudah mengakar dan kesulitan untuk kembali bekerja setelah melahirkan, menurut Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Hal ini berarti banyak perempuan berpendidikan dan memiliki pekerjaan tetap malah menunda pernikahan dan menjadi orang tua. Bahkan ada kata “bihon” yang mengacu pada perempuan yang memilih untuk tidak menikah.

Laporan Statistik Korea menemukan bahwa sikap responden terhadap persalinan juga sama buruknya. Dari responden yang disurvei tahun lalu, lebih dari setengahnya mengatakan mereka tidak melihat perlunya memiliki anak, bahkan setelah menikah – angka yang terus meningkat sejak tahun 2018.

Namun seiring dengan pergeseran pandangan konservatif di Korea Selatan, gagasan tentang pengasuhan anak tunggal (single parenting) kini semakin populer. Hampir 40% responden mengatakan mereka bisa memiliki anak tanpa menikah, sebuah hal yang menyimpang dari norma tradisional di negara tersebut.

Meskipun memiliki bayi merupakan hal yang sangat diharapkan oleh pasangan menikah di Korea Selatan, sebagian besar masyarakat masih tidak menyukai orang tua tunggal. Perawatan IVF tidak ditawarkan kepada wanita lajang, menurut angka resmi rumah sakit. Sementara itu, pasangan yang menjalin hubungan non-tradisional juga menghadapi diskriminasi; Korea Selatan tidak mengakui pernikahan sesama jenis dan peraturannya mempersulit pasangan yang tidak menikah untuk mengadopsi anak.

Namun para ahli mengatakan pihak berwenang mungkin perlu mengubah sikap ini, dan segera, jika mereka ingin membawa negara ini keluar dari krisis demografi yang mengancam.

Tahun lalu, tingkat kesuburan Korea Selatan, yang merupakan yang terendah di dunia, turun ke rekor terendah 0,78 – bahkan tidak setengah dari 2,1 yang diperlukan untuk menjaga populasi stabil dan bahkan jauh di bawah Jepang (1,3), yang saat ini merupakan negara paling abu-abu di dunia.

Upaya untuk memperbaiki masalah sejauh ini terbukti tidak efektif. Pemerintah telah menghabiskan lebih dari USD200 miliar selama 16 tahun terakhir untuk mendorong lebih banyak orang untuk memiliki anak. Namun hasilnya tidak terlalu terlihat.

(Susi Susanti)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement