Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Gelagat Ganjil Letjen Suprapto Jelang Malam Jahanam G30S PKI

Qur'anul Hidayat , Jurnalis-Senin, 02 Oktober 2023 |04:06 WIB
Gelagat Ganjil Letjen Suprapto Jelang Malam Jahanam G30S PKI
Letjen Suprapto. (Foto: Dok Ist)
A
A
A

LETNAN Jenderal TNI Anumerta R Suprapto merupakan salah satu korban dalam G30SPKI. Ia meninggal di Lubangbuaya, Jakarta 1 Oktober 1965 pada umur 45 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Seperti yang dituturkan dalam buku ‘Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965’, putri sulung Jenderal Soeprapto, Ratna Purwati, jelang peristiwa “malam jahanam” itu pernah ditanyakan hal yang menyayat kalbu dari ayahnya di ruang kerja jenderal kelahiran Purwokerto, 20 Juni 1920 itu.

“Kamu sedih tidak, kalau bapak meninggal dunia?,” tanya Jenderal Suprapto yang langsung dijawab Ratna, “Bapak ngomong apa, sih?,”.

BACA JUGA:

Amuk Massa G30S PKI, Bupati Blitar Ikut Dibersihkan 

Hal ganjil lainnya yang terjadi pada 30 September malam, adalah ketika salah satu wakil Menpangad Letjen TNI Ahmad Yani itu pulang dari kantornya dengan membawa sejumlah buku baru. Padahal sehari sebelumnya, sang jenderal sudah melakukan hal yang sama.

Letjen Suprapto pada malam itu begadang menunggu salah satu putrinya, Sri Lestari yang tak kunjung pulang hingga jam 24.00. Sri kala itu terlambat pulang dari kawasan Harmoni, untuk penerimaan piala lomba lari.

Pada saat itulah keluarga sang jenderal melihat ayah mereka untuk kali terakhir dalam keadaan sehat. Pasalnya pada 1 Oktober sekira pukul 04.00 pagi, Letjen Suprapto turut diculik gerombolan berseragam tentara dengan baret Tjakrabirawa.

Pintu rumah mereka di kawasan Menteng mendapati gedoran keras. Letjen Suprapto melarang istri dan anak-anaknya untuk mendekati pintu. “Ada apa pagi-pagi buta begini membangunkan saya?,” ketus Letjen Suprapto.

 BACA JUGA:

“Bapak dipanggil untuk menghadap Presiden Soekarno sekarang juga,” jawab seorang dari mereka. “Kalau begitu, izinkan saya berganti pakaian terlebih dahulu,” ujar Jenderal Suprapto lagi.

Tapi sebelum sempat berganti pakaian, Jenderal Suprapto sudah dipaksa dengan todongan senjata, untuk dibawa ke sebuah truk hanya dengan mengenakan kemeja piyama dan sarung bermotif kotak-kotak.

Keluarga yang kala itu mengaku sangat aneh dengan kejadian itu, buru-buru mencoba mencari kontak dengan kolega Jenderal Suprapto, yakni Mayjen Siswondo Parman yang sayangnya, juga turut jadi korban.

Profil dan Jejak Karier

Lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20 Juni 1920, Suprapto bisa dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar. Ia menempuh pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941.

Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie di Bandung. Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena pasukan Jepang sudah keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tetapi kemudian ia berhasil melarikan diri.

Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat.

Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya.

Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut menjadi salah satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu, pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang pernah menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut.

Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas. Pertama-tama ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Dari Semarang ia kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian Pertahanan. Dan setelah pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi Deputy Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera yang bermarkas di Medan. Selama di Medan tugasnya sangat berat sebab harus menjaga agar pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang lagi.

(Qur'anul Hidayat)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement