Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Wejangan Letjen MT Haryono ke Anaknya Sebelum Dibantai PKI: Hindarilah Berpolitik

Arief Setyadi , Jurnalis-Minggu, 08 Oktober 2023 |06:04 WIB
Wejangan Letjen MT Haryono ke Anaknya Sebelum Dibantai PKI: Hindarilah Berpolitik
Letjen MT Haryono (Foto: Ist)
A
A
A

TRAGEDI 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (PKI) atau G30S PKI menyisakan trauma mendalam bagi masyarakat terhadap kebiadaban organisasi terlarang itu. Enam Perwira Tinggi Angkatan Darat (AD) dan seorang ajudan tewas secara mengenaskan di tangan PKI.

Sebelum peristiwa berdarah itu terjadi, ternyata ada firasat dan sejumlah keganjilan yang dirasakan keluarga jenderal korban PKI. Salah satunya, keluarga Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (MT Haryono) yang seolah sudah merasakan firasat aneh terhadap perwira TNI kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924 tersebut.

Sehari sebelum kejadian pada 30 September 1965 sore, di mana ada barisan tentara dekat rumahnya. Salah satu dari mereka bertanya, di mana letak rumah MT Harjono. Sontak dengan spontan, mereka pun menunjuk rumah mereka sendiri.

Firasat lain juga dialami putri bungsu MT Haryono, Enda Marina. Ketika sang jenderal tengah sibuk menata bunga anggrek dengan mendengarkan musik klasik, Enda yang ingin mendekati sang Ayah, justru disuruh menjauh. Perilaku ganjil buat Enda yang selama ini sangat dekat dengan Ayahnya. Belum lagi, malam sebelum kejadian, Enda juga bermimpi tentang Ayahnya yang ditusuk tombak oleh beberapa orang misterius, hingga tak berdaya dan bersimbah darah.

Sang jenderal juga tak pernah bicara politik sedikit pun dengan anak-anaknya di rumah dalam kesehariannya. Namun, kala itu anak sulung MT Haryono, Harianto Harjono atau yang biasa disapa Babab, tiba-tiba diajak bicara soal politik oleh ayahnya.

Bahkan, sebuah wejangan atau cenderung seperti petuah terakhir disampaikan MT Haryono pada anaknya.

“Bab, kalau kamu sudah besar nanti, sebaiknya hindarilah berpolitik. Karena politik itu sangat berisiko. Politik itu menghalalkan segala cara. Selagi kamu berada dalam satu kelompok, kelompok itu akan menganggapmu sebagai teman,” ucap MT Haryono pada Babab. “Tetapi begitu kamu berpisah, kamu akan dianggap sebagai musuh. Persahabatan dan kebajikan yang telah kamu lakukan di masa yang sudah-sudah, akan mereka lupakan. Makanya kamu tak perlu masuk politik. Masuk tentara boleh, tapi masuk politik, sekali lagi, jangan!” seru sang jenderal yang jadi pesan terakhir pada anaknya itu.

Hingga akhirnya peristiwa di malam jahanam itu terjadi. Sekelompok pasukan Tjakrabirawa yang sudah terinfiltrasi gerakan politik PKI menyasarkan kebengisan mereka terhadap sejumlah perwira tinggi TNI AD.

Sebelum kejadian di pagi buta pada 1 Oktober 1965, sedianya pejabat Deputi III Menpangad bidang Perencanaan dan Pembinaan itu, sudah mendapati firasat akan jadi target kekerasan golongan ekstrem kiri. Salah satu wakil Menpangad Letjen TNI Ahmad Yani itu ikut gugur sebagai bunga bangsa.

“Bapak harus berjaga-jaga. Kabar mengenai rencana penculikan dan pembunuhan itu barangkali benar,” ujar ajudan MT Haryono, dikutip dalam buku ‘Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965’.

“Buat apa? Saya dan keluarga tak perlu dijaga!” jawab MT Harjono tegas.

Sebagai seorang perwira tinggi TNI AD, rumah MT Haryono saat itu tanpa penjagaan sama sekali. Bahkan, dia tak pernah mau memanfaatkan fasilitas negara untuk melakukan pengamanan dengan tentara di rumahnya.

Namun, peristiwa kelam 1 Oktober itu tiba, sekira pukul 04.00 pagi, rumah MT Harjono di Jalan Prambanan Nomor 8, Menteng, Jakarta Pusat itu didatangi segerombolan pasukan Tjakrabirawa.

“Assalaamualaikum!,” ujar Serma Bungkus, pimpinan gerombolan tersebut sembari mengetuk pintu.

Mariatni, istri sang jenderal yang membuka pintu seraya bertanya maksud kedatangan para pria tegap berseragam dengan bersepatu lars itu. “Bung Karno memanggil bapak. Ada rapat penting yang harus dihadiri bapak sekarang juga,” jawab Serma Bungkus.

Setelah itu, Mariatni ingin membangunkan MT Haryono, namun gerombolan itu ikut masuk ke dalam rumah. “Di luar ada tentara yang mengaku utusan Bung Karno. Mereka minta Ayah ikut mereka. Ada rapat penting di Istana Bogor,” ujar Mariatni pada suaminya.

“Tidak ada rapat pagi buta seperti ini,” jawab MT Harjono.

Seketika sang jenderal pun curiga dan menyuruh istri dan anak-anaknya untuk pindah dari kamar masing-masing ke tempat aman. “Kamu harus segera pindah kamar dan bangunkan anak-anak, karena mereka akan membunuh saya. Pindahlah ke kamar depat beserta anak-anak,” ucap MT Harjono yang malangnya, itu jadi kalimat terakhir sang jenderal pada istrinya.

Tak lama setelah Mariatni memindahkan anak-anaknya, terdengar bunyi rentetan senjata yang ternyata, menembus tubuh MT Harjono. Tubuhnya diseret keluar rumah, dilempar ke dalam truk dan keluarga tak tahu lagi jasadnya dibawa entah ke mana.

Mariatni segera berusaha cari kontak dengan kerabat yang sialnya, kabel telefon rumah sudah diputus. Dia pun bertolak ke rumah asisten intel Menpangad, Mayjen TNI Siswondo Parman dan kemudian ke rumah Menpangad Letjen Ahmad Yani. Yang ditemukannya ternyata tak jauh berbeda dengan yang dialami suaminya.

Mayjen MT Haryono setelah gugur mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Letnan Jenderal atau Letjen (Anumerta) MT Haryono.

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement