 
                
MPU NAMBI, sang mahapatih Majapahit pertama tak bisa membayangkan cutinya kepulangannya, karena ayahnya sakit bakal menjadi petaka. Sang ayah Arya Wiraraja, adalah ayah kandung Mpu Nambi, yang menjalin hubungan baik sebagai sahabat dengan Raden Wijaya, raja pertama dan pendiri Kerajaan Majapahit.
Saat itu, izin kepulangan Mpu Nambi membuat sang raja Jayanagara memerintahkan mengirimkan pasukan khusus untuk melayat usai Arya Wiraraja sakit, hingga dinyatakan meninggal dunia. Pasukan Majapahit pun berangkat dengan rombongan besar yang dipimpin oleh Mahapati. Di dalam rombongan besar tampak Pamandana, Mahesa Pawagal, Panji Anengah, Panji Samara, Panji Wiranagari, Jaran Bangkal, Teguh, Semi, Lasem, dan Emban, yang seluruhnya merupakan teman seperjuangan Raden Wijaya dari Wangsa Rajasa.
Di Lumajang, para pasukan itu akhirnya bertemu Mpu Nambi di kediamannya. Mereka menyampaikan rasa duka citanya. Namun saat kembali ke Majapahit, rombongan besar itu menyampaikan hal yang berbeda ke Jayanagara, sebagaimana dalam buku "Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru".
Sosok Mahapati, yang juga pejabat istana melaporkan bahwa Mpu Nambi bakal melakukan pemberontakan ke ibu kota Majapahit. Mahapati menyebut laporan palsu dan memfitnah Mpu Nambi dengan menyampaikan hal yang tak semestinya ke Jayanagara.
Mendengar karangan Mahapati inilah akhirnya Jayanagara bereaksi. Sang raja memutuskan untuk melakukan penyerangan kepada Lumajang, tanpa mengklarifikasi dan mengeceknya ke Mpu Nambi, yang notabene adalah pejabat utama sekaligus Mahapatih di masa Jayanagara.
Jayanagara yang termakan fitnah Mahapati, lantas merencanakan serangan mendadak ke Lumajang. Akhirnya setelah terjadi perdebatan di kalangan istana Majapahit disepakati berangkat ke Lumajang.
Pasukan besar Majapahit pun sampai di perbatasan Lumajang Tigang Juru, Mahapatih Nambi dan pembesar Kerajaan Majapahit yang masih tertinggal di Lumajang tidak menyangka jika izin cutinya, oleh Mahapati akhirnya disalahgunakan mempengaruhi Jayanagara, yang memang mempunyai sifat menggebu-gebu dan tidak menyukai keberadaan para pendukung Wangsa Rajasa.
Dikarenakan kedatangan mendadak dari pasukan Majapahit saat keadaan keraton Lamajang Tigang Juru yang masih berkabung karena wafatnya Arya Wiraraja, Mpu Nambi dan saudara-saudaranya di Lumajang tidak bisa maksimal mempersiapkan pasukan Lamajang Tigang Juru.
Pasukan Lumajang menyiapkan pos pertahanan terluar di daerah Ganding dan pos pertahanan di daerah Pajarakan. Serangan pertama yang dilakukan di daerah Ganding, yang kini masuk Kabupaten Probolinggo, yang merupakan pos pertahanan terluar Kerajaan Lamajang Tigang Juru, pasukan Majapahit dapat dengan mudah menaklukkannya.
Persiapan yang kurang dan serangan mendadak telah menyebabkan laskar Lamajang tidak siap menghadapi serangan besar-besaran yang dilakukan oleh pihak Majapahit. Pasukan Lamajang pun melarikan diri ke pertahanan inti mereka di Pajarakan, yang merupakan pertahanan terakhir sebelum menuju keraton Lamajang Tigang Juru.
Mpu Nambi disertai beberapa temannya serta para petinggi Majapahit dan pendukung setia Wangsa Rajasa saat melayat ke Arya Wiraraja, berusaha mati - matian mempertahankan Pajarakan dan keraton Lamajang. Pasukan Lamajang mempersiapkan diri seadanya menunggu pasukan Majapahit di wilayah Pajarakan.
Saat peperangan inilah letak Pajarakan yang di atas lembah menyebabkan posisi pasukan Lamajang lebih diuntungkan, karena menguasai wilayah yang lebih tinggi. Pada pertempuran yang menentukan ini kedua kekuatan pasukan ini sama kuatnya, sehingga pertempuran berlangsung dengan sengit.
Pasukan Majapahit selalu kesulitan setiap kali hendak menerobos dan merebut keraton Lamajang Tigang Juru. Pasalnya yang dilindungi oleh sungai yang lebar dan benteng yang kokoh. Namun di tengah pertempuran ini Mahapati menggunakan siasat liciknya menyerang Mpu Nambi, dengan tiga lawan sekaligus.
Jabung Trewes, Lembu Peteng, dan Ikal - ikalan Bang menyerang bersama hingga Mahapatih Mpu Nambi gugur di Medan pertempuran. Melihat Mpu Nambi gugur, banyak pasukan Lamajang yang jatuh mentalnya dan berlari menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Majapahit.
Usaha yang dilakukan para pembesar Majapahit di Lamajang dan membela Mahapatih Mpu Nambi menjadi sia-sia, karena sudah terlambat sehingga gugurlah pada teman seperjuangan Kertarajasa Jayawardhana maupun anak-anak Arya Wiraraja di Medan laga.
Mendengar gugurnya Mpu Nambi sang istri ikut bela pati atau bunuh diri dan gugur di Keraton Lumajang Tigang Juru sehingga payung kebesaran Lumajang Tigang Juru harus tercabut dan hilang sejarahnya.
(Awaludin)