Saat itu, TNI dan Polri memetakan para teroris dalam dua faksi. Yang pertama adalah faksi kombatan dan kedua faksi simpatisan nonkombatan.
“Yang pertama faksi kombatan bersenjata yaitu mereka yang berada di atas gunung,”ujar Farid Makruf.
Kemudian, kelompok nonkombatan tidak bersenjata, yaitu mereka yang mendukung logistik dan informasi bagi kelompok kombatan. Mereka adalah masyarakat umum yang menjadi simpatisan teroris.
“Mereka ini orang-orang yang bersimpati karena takut ataupun mereka yang terpengaruh dan ingin terus mengikuti ajaran radikal. Saat itu, kepada Rakhman Baso (Kapolda Sulteng) saya menyampaikan bahwa selama ini sudah berbagai cara dilakukan untuk menuntaskan kasus terorisme di Poso, namun tak selesai-selesai juga,”ujarnya.
“Akhirnya Pak Rakhman sebagai PJKO Operasi Madago Raya kemudian membangun tidak kurang 43 pos sekat untuk membatasi pergerakan para kombatan dan nonkombatan," sebut Farid.
Hasilnya, 13 teroris yang menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) satu per satu berhasil ditangkap baik hidup maupun mati setelah berhasil membongkar sandi para teroris tersebut.
Mantan Kapolda Sulteng Irjen Pol (Purn) Abdul Rakhman Baso bercerita bagaimana dia menemukan sandi operasi saat sedang istirahat di suatu tempat di Poso.
Rakhman Baso menyebut, dia dan Farid Makruf selalu berbagi strategi dan bahkan berdua turun langsung ke lapangan.
“Ada tulisan di suatu panggung tertulis, Madago Raya. Saya tanya staf saya, itu Madago Raya artinya apa? ternyata berarti baik hati dalam bahasa Pamona. Itulah yang kemudian menjadi sandi operasi ini,” tutup Rakhman.
(Fakhrizal Fakhri )