Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Mengenal Doktrin Hannibal, Protokol Israel untuk Benarkan Pembunuhan Warganya yang Disandera

Rahman Asmardika , Jurnalis-Minggu, 05 November 2023 |14:05 WIB
Mengenal Doktrin Hannibal, Protokol Israel untuk Benarkan Pembunuhan Warganya yang Disandera
Foto: Reuters.
A
A
A

KELOMPOK Palestina Hamas menewaskan 1.400 warga Israel dan membawa setidaknya 239 orang ke Gaza untuk dijadikan sandera dalam serangan Operasi Badai Al Aqsa pada 7 Oktober lalu. Israel menanggapi serangan ini dengan membombardir Gaza, yang merupakan pusat operasi Hamas, tanpa henti, menewaskan hampir 9.500 warga sipil Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak.

Serangan Israel yang menargetkan fasilitas medis dan sipil di Gaza terus berlanjut meski ada seruan gencatan senjata, bahkan dari keluarga sandera yang khawatir akan keselamatan kerabat mereka di Gaza. Tindakan Israel ini memunculkan dugaan bahwa Negara Zionis itu membangkitkan kembali Doktrin Hannibal atau Protokol Hannibal dalam perangnya melawan Hamas.

Yehuda Shaul, seorang mantan komandan tentara pertahanan Israel (IDF) mengungkapkan bahwa Protokol Hannibal adalah sebuah kebijakan militer Israel yang menetapkan penggunaan kekuatan maksimum jika terjadi penculikan tentara.

Shaul adalah salah satu pendiri LSM Israel Breaking the Silence, organisasi veteran militer Israel pertama yang menyerukan diakhirinya pendudukan Israel di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza.

Shaul, yang bertugas di IDF antara 2001 dan 2004 mengatakan bahwa dia pertama kali mendengar tentang Protokol Hannibal ini saat bertugas di perbatasan Lebanon. Dia mendeskripsikan protokol tersebut sebagai kebijakan militer yang bertujuan mencegah penangkapan tentara Israel oleh pasukan musuh – dengan cara apa pun.

“Anda akan melepaskan tembakan tanpa dihalangi, untuk mencegah penculikan,” katanya, menambahkan bahwa penggunaan kekuatan mematikan dilakukan bahkan dengan risiko membunuh seorang tentara yang ditawan.

Selain menembaki para penculik, tentara juga dapat menembak di persimpangan jalan, jalan raya, dan jalur lain yang mungkin dilewati oleh lawan yang menculik tentara tersebut, kata Shaul sebagaimana dilansir Al Jazeera.

Militer Israel membantah penafsiran arahan yang memperbolehkan pembunuhan terhadap sesama prajuritnya itu. Namun tentara Israel, termasuk Shaul, memahaminya sebagai izin untuk melakukan hal tersebut, karena hal tersebut lebih disukai daripada skenario di mana seorang tentara dijadikan tawanan.

Shaul mengatakan, arahan itu disampaikan kepadanya dan komandan lainnya secara lisan. “Saya belum pernah melihat teks tertulis mengenai aturan keterlibatan,” katanya.

Menurut Annyssa Bellal, seorang pengacara internasional yang berspesialisasi dalam konflik bersenjata dan hukum internasional, dan peneliti senior di Geneva Graduate Institute, arahan tersebut tidak pernah menjadi kebijakan resmi dan oleh karena itu tidak pernah dipublikasikan secara keseluruhan.

“Dari sudut pandang hukum, arahan tersebut sangat kontroversial,” kata Bellal kepada Al Jazeera.

Aspek arahan yang berisiko membunuh seorang tentara ini kontroversial menurut hukum internasional mengingat negara harus menghormati hak hidup warga negaranya, yang tidak akan hilang bahkan jika mereka ditangkap oleh negara lain, jelasnya.

Asal usul nama arahan tersebut masih diperdebatkan, dengan beberapa sumber mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari nama seorang jenderal Kartago yang memilih untuk meracuni dirinya sendiri daripada menjadi tawanan Romawi pada 181 SM. Namun, para pejabat militer Israel mengatakan bahwa sebuah komputer secara acak menghasilkan nama tersebut.

Doktrin Hannibal itu diduga dibuat pada 1986 oleh komandan tentara Israel setelah tiga tentara dari Brigade Givati, sebuah brigade infanteri Israel, ditangkap oleh kelompok bersenjata Hizbullah di Lebanon.

Saat itu, Israel menduduki wilayah selatan negara Levantine di wilayah yang mereka buat dan disebut sebagai zona keamanan setelah invasi ke Lebanon pada 1982. Hizbullah menangkap tentara yang berpatroli di zona ini, yang akan tetap berada di bawah pendudukan Israel hingga 2000.

Anggota brigade melihat sebuah kendaraan melarikan diri bersama rekan-rekan tentara mereka yang ditawan tetapi tidak melepaskan tembakan. Arahan ini dibuat sebagai tanggapan untuk memastikan hal itu tidak akan terjadi lagi.

Jasad para tentara yang ditangkap dikembalikan ke Israel 10 tahun kemudian pada 1996, dengan imbalan Israel mengembalikan jenazah 123 pejuang Hizbullah, menurut pemerintah Israel.

Sikap garis keras Israel sejak saat itu disebabkan oleh fakta bahwa penculikan seorang tentara merupakan langkah strategis bagi musuh, kata Shaul, yang memberi mereka kekuatan negosiasi, serta kemampuan untuk mempengaruhi moral nasional dan dukungan publik terhadap suatu konflik.

Doktrin ini akhirnya dihentikan penggunaannya setelah insiden di Jalur Gaza pada 1 Agustus 2014.

Saat itu selama 50 hari pemboman Israel di Jalur Gaza, yang oleh militer Israel disebut Operasi Protective Edge, di wilayah selatan Rafah yang berbatasan dengan Mesir. Militer Israel membombardir Gaza setelah pejuang Hamas menangkap perwira Israel Letnan Hadar Goldin.

Artileri dan tank Israel menggempur empat lingkungan selama beberapa jam – kadang-kadang menembakkan satu peluru per menit – sementara jet tempur secara bersamaan melancarkan serangan udara.

Senjata mematikan tersebut menewaskan setidaknya 135 warga sipil, membuat Amnesty International menyebut hari itu “Black Friday” dan menuduh Israel melakukan kejahatan perang.

“Di mata masyarakat Israel dan di mata masyarakat Palestina di Gaza”, Israel telah kalah dalam operasi dengan penangkapan Goldin, kata Shaul. 

Militer Israel kemudian menyimpulkan bahwa Goldin meninggal karena luka-lukanya dalam pertempuran dengan Hamas, namun tubuhnya tidak pernah ditemukan.

Namun, bahkan di Israel, kejadian ini menimbulkan keresahan – termasuk di kalangan tentara.

“Tentara yang ingin menyelamatkan tawanan tidak bertindak seperti ini. Tentara yang ingin memastikan kematian tawanan dan penculik bertindak seperti ini,” tulis seorang tentara kepada jenderal angkatan darat Benny Gantz pada saat itu, menurut Misgav. Gantz sekarang menjadi anggota kabinet perang Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Doktrin itu diyakini dicabut dua tahun kemudian, pada 2016.

Tidak jelas apa yang menyebabkan pembatalan peraturan tersebut namun sebuah laporan dari pengawas keuangan negara Israel telah merekomendasikan agar tentara menghapuskan arahan tersebut karena kritik yang diterima Israel atas penggunaannya di Rafah, serta karena berbagai interpretasi oleh pihak militer, demikian dilaporkan Haaretz pada saat itu.

Melihat apa yang terjadi di Gaza saat ini, Israel, dalam beberapa cara, telah menerapkan Doktrin Hannibal dalam perangnya melawan Hamas.

Israel sebagian besar menolak untuk bernegosiasi dengan Hamas untuk melepaskan tawanannya, dan malah memilih untuk menggunakan kekuatan terhadap Jalur Gaza yang “mencerminkan doktrin yang dimaksud,” katanya Bellal.

(Rahman Asmardika)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement