Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Anwar Usman Tak Hadiri RPH Bahas Perkara Batas Usia Capres Cawapres Usai Dicopot

Irfan Maulana , Jurnalis-Selasa, 21 November 2023 |16:28 WIB
Anwar Usman Tak Hadiri RPH Bahas Perkara Batas Usia Capres Cawapres Usai Dicopot
Anwar Usman Tak Hadiri RPH Perkara Batas Usia Capres Cawapres
A
A
A

 

JAKARTA- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman tidak menghadiri Rapat Permusyawatan Hakim (RPH) di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, (21/11/2023).

"Sesuai dengan putusan MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) tidak dihadiri yang mulia Pak Anwar," ujar juru bicara merangkap hakim MK, Enny Nurbaningsih, kepada MNC Portal Indonesia.

Dalam RPH tersebut, para hakim MK membahas sejumlah perkara yang tengah ditangani. Salah satunya, membahas perkara batas usia Capres Cawapres nomor 141/PUU-XXI/2023.

"Kami membahas beberapa perkara termasuk salah satunya perkara 141 tapi belum selesai semua. Mohon ditunggu dengan sabar ya," katanya.

Paman Gibran tersebut tak hadir sebab, telah mendapatkan sanksi dari MKMK terkait dengan pelanggaran etik berat. Dia terbukti terlibat konflik kepentingan dalam perkara batas usia Capres Cawapres 40 tahun atau punya pengalaman jadi kepala daerah.

Selain dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK, Anwar Usman juga tidak boleh menangani perkara yang berkaitan dengan Pemilu.

Sementara, perkara nomor 141/PUU-XXI/2023 berkaitan dengan Pemilu. Diketahui, perkara nomor 141/PUU-XXI/2023 itu terkait gugatan yang diajukan oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU), Brahma Aryana.

Brama menggugat perkara batas usia Capres Cawapres 40 tahun atau punya pengalaman jadi kepala daerah yang sebelumnya sudah dikabulkan MK.

Dalam permohonannya, Brahma meminta agar Pasal 169 huruf q undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 diubah.

"Terhadap frasa "yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi".

Sehingga bunyi selengkapnya "Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang mendudukinya jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi," jelasnya.

Brahma lantas mempersalahkan jumlah hakim yang sepakat dengan putusan tersebut yakni terdapat 5 Hakim yang sepakat untuk mengabulkan permohonan. Di mana terdapat perbedaan syarat alternatif dalam memaknai Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017.

"3 hakim Konstitusi yang memaknai 'pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah', 2 hakim Konstitusi yang memaknai berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi pada jabatan Gubernur," tulis Brahma dalam permohonannya.

Menurutnya, putusan tersebut tidak memenuhi syarat. Sebab, hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada putusan tersebut diantaranya Anwar Usman Guntur Hamzah, dan Manahan MP. Sitompul.

"Bahwa sementara 2 hakim konstitusi lainnya setuju terdapat alternative syarat 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi'. Yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh," katanya.

Sementara terdapat 4 hakim yang tidak sepakat dengan putusan tersebut yakni Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat.

Artinya, Hanya 3 hakim saja yang sepakat dengan putusan tersebut, 4 Hakim tidak setuju dan 2 hakim sepakat kalau dengan frasa pengalaman jadi kepala daerah minimal tingkat Provinsi. Brahma pun menegaskan bahwa putusan tersebut tidak sah atau inkonstitusional.

"Putusan itu inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara Hakim Konstitusidari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan," ucapnya.

(Fahmi Firdaus )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement