Pasal 5 UU No. 28 tahun 1999, dinyatakan bahwa: Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk:
1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya;
2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
3. melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat;
4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
5. melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan;
6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila dicermati seharusnya apa yang dilakukan oleh oknum Hakim MK yang oleh MKMK, terbukti melakukan pelanggaran berat etik dalam proses pengambilan keputusan putusan MK No.90., merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 angka 4 dan angka 6, UU No. 28 tahun 1999. Atas pelanggaran ketentuan Pasal 5 angka 4 dan angka 6 UU No. 28 Tahun 1999, selain merupakan pelanggaran hukum menurut ketentuan UU ini tetapi juga sekaligus membuktikan adanya pelanggaran etik berat, sehingga atas perbuatan tersebut dapat dijatuhi sanksi administrasi dan juga sanksi perdata serta pidana.
Apa yang dilakukan oleh Oknum Hakim MK yang dijatuhi pelanggaran berat oleh MKMK, dapat dikualifikasi sebagai perbuatan yang melanggar norma Pasal 5 angka 4 dan angka 6 UU No. 28 Tahun 1999, yaitu melakukan praktek kolusi dan nepotisme, sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 4 dan Pasal 1 angka 5.
Pasal 1 angka 4, Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Pasal 1 angka 5, Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Adapun sanksi terkait adanya pelanggaran Pasal 5 angka 4 dan angka 6, tersebut dapat diberikan sanksi sebagaimana dimaksud pada ketentuan Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 UU No. 28 Tahun 1999, yang bunyi lengkapnya sebagai diuraikan dibawah ini.
Pasal 20 ayat (1) dinyatakan: Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1, 2, 3, 5 dan 6 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian ketentuan Pasal 21 dinyatakan: Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Sedangkan ketentuan Pasal 22 dinyatakan: Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).