SETELAH Oknum Hakim MK diberhentikan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan MKMK, karena melakukan pelanggaran berat, maka hal ini sebenarnya menjadi bukti bahwa proses lahirnya Putusan MK No. 90 terkait syarat menjadi Capres/Cawapres sebagaimana judicial review Pasal 169q atas UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sebagai putusan yang cacat hukum karena dihasilkan dari putusan Majelis Permusyawaratan Hakim Mahkamah Konstitusi yang melanggar etik secara kumulatif dari sembilan hakim dan melanggar berat secara etik oleh Oknum Mantan Ketua MK. Namun demikian oleh karena sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan bainding (final dan mengikat), maka hal itu tidak mempengaruhi amar putusan MK No. 90, tersebut.
Sebagaimana pertimbangan putusan MKMK juga menyebutkan dalam mengambil keputusan, para hakim MK menerapkan norma ewuh pakewuh dalam mengambil keputusan, secara hukum hal itu tidak diperbolehkan. Sebagaimana ketentuan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta sesuai dengan tujuan hukum, hakim dalam mengambil keputusan harus memperhatikan tiga aspek yaitu aspek kepastian hukum, aspek keadilan hukum dan aspek kemanfaatan hukum.
Apa yang dilakukan oleh hakim MK terkait putusan MK no. 90, tidak mencerminkan hal tersebut. Bahkan hakim yang mestinya dalam setiap keputusannya tidak hanya bertanggungjawab kepada Masyarakat, tetapi dalam setiap putusannya harus bertanggungjawab kepada Tuhan YME, sesuai irah-irah putusan: Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan YME.” Inilah yang harusnya dilakukan oleh hakim MK dalam memutuskan perkara No. 90, yang ternyata ada kepentingan diluar kepentingan bangsa dan negara, yang seharusnya juga hakim bersifat independent.
Ketika MKMK menyalahkan 9 hakim konstitusi melakukan ewuh pakewuh, ternyata dalam putusannya MKMK juga dalam memberikan putusannya dilakukan sambil tersenyum, mestinya hal ini tidak boleh terjadi, mengingat hal ini sebuah lembaga pengawal konstitusi yang mestinya hal itu juga harus dijaga oleh MK, baik oleh hakim MK melalui putusannya sesuai kewenangan yang dimiliki, tetapi juga oleh MKMK yang menegakkan kode etik para hakim MK.
Dengan diberikannya sanksi karena melakukan pelanggaran berat, tidak secara mutatis muntandis pelaksanaan Pilpres mendatang bisa dikatakan cacat secara hukum, namun secara etika hal itu sangat mempengaruhi kehidupan demokrasi karena persyaratan peserta dirubah normanya oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang melakukan pelanggaran Etik.
Sebenarnya terkait larangan praktek penyelenggaraan korupsi, kolusi dan nepotisme, telah diatur dalam UU No. 28 tahun 1999 Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Dalam UU No. 28 Tahun 1999, tersebut terdapat tiga alasan mengapa UU tersebut diundangkan yaitu antara lain:
a. bahwa Penyelenggara Negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, perlu diletakkan asas-asas penyelenggaraan negara;
c. bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar-Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya;
Selanjutnya Pasal 1 angka 1 UU No. 28 tahun 1999, dinyatakan bahwa: Penyelengga Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Pasal 2, dinyatakan “Penyelenggara Negara meliputi : 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 UU No. 28 tahun 199 tersebut, maka termasuk juga hakim dapat dikualifikasi sebagai penyelenggara negara, artinya kalua melakukan pelanggaran norma dalam UU No. 28 Tahun 1999, juga dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
Pasal 5 UU No. 28 tahun 1999, dinyatakan bahwa: Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk:
1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya;
2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
3. melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat;
4. tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
5. melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan;
6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila dicermati seharusnya apa yang dilakukan oleh oknum Hakim MK yang oleh MKMK, terbukti melakukan pelanggaran berat etik dalam proses pengambilan keputusan putusan MK No.90., merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 angka 4 dan angka 6, UU No. 28 tahun 1999. Atas pelanggaran ketentuan Pasal 5 angka 4 dan angka 6 UU No. 28 Tahun 1999, selain merupakan pelanggaran hukum menurut ketentuan UU ini tetapi juga sekaligus membuktikan adanya pelanggaran etik berat, sehingga atas perbuatan tersebut dapat dijatuhi sanksi administrasi dan juga sanksi perdata serta pidana.
Apa yang dilakukan oleh Oknum Hakim MK yang dijatuhi pelanggaran berat oleh MKMK, dapat dikualifikasi sebagai perbuatan yang melanggar norma Pasal 5 angka 4 dan angka 6 UU No. 28 Tahun 1999, yaitu melakukan praktek kolusi dan nepotisme, sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 4 dan Pasal 1 angka 5.
Pasal 1 angka 4, Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Pasal 1 angka 5, Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Adapun sanksi terkait adanya pelanggaran Pasal 5 angka 4 dan angka 6, tersebut dapat diberikan sanksi sebagaimana dimaksud pada ketentuan Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 UU No. 28 Tahun 1999, yang bunyi lengkapnya sebagai diuraikan dibawah ini.
Pasal 20 ayat (1) dinyatakan: Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1, 2, 3, 5 dan 6 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian ketentuan Pasal 21 dinyatakan: Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Sedangkan ketentuan Pasal 22 dinyatakan: Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Terkait pencalonan Wapres yang menjadi Calon Wakil Presiden melalui Putusan MK No.90 tersebut, dan secara hukum oleh KPU dinyatakan sebagai calon pasangan yang sah, maka hal itu sah secara hukum, namun demikian tentu secara etik dan moral menjadi persoalan, karena dihasilkan dari putusan oleh Majelis Hakim yang dinyatakan telah melanggar Etik berdasarkan putusan MKMK. Apabila dicermati moral/etik sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hukum, mestinya pelaksanaan hukum harus berlandaskan pada etik/moral sehingga akan dilahirkan putusan yang berkepastian, berkeadilan dan berkemanfaatan. Tanpa etik/moral, maka setiap putusan yang dihasilkan oleh hukum akan mengabaikan prinsip keadilan dan juga kemanfaatan bagi Masyarakat, bangsa dan negara.
Harapannya, dengan adanya pimpinan Mahkamah Konstitusi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi, Dr. Suhartoyo, SH, MH dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Saldi Isra, SH., MH, dapat mengembalikan khitoh Mahkamah Konstitusi yang kian terpuruk dan akan diuji, saat nanti Ketika ada sengketa Hasil Pemilu dan Pilkada, termasuk juga Sengketa Hasil Pilpres 2024 yang akan datang.
Penulis:
Prof. Dr. Agus Surono., S.H., M.H.
(Guru Besar Hukum Pidana Universitas Pancasila)
(Qur'anul Hidayat)