Ulah Aliman tidak bisa dibiarkan dan ia pun diputuskan dibuang ke sebuah bukit yang kelak dikenal dengan nama Gunung Liman yang letaknya bersebelahan dengan Gunung Wilis.
Di tempat barunya Aliman mengangkat diri sebagai Ki Ageng dan dikenal dengan nama Ki Ageng Ngliman atau Ngaliman. Ia mengajar ilmu kanuragan dan kedigdayaan kepada orang-orang Jawa yang ikut bertempat tinggal di sana.
Padepokan Ki Ageng Ngliman dalam waktu singkat kesohor. Muridnya terus bertambah dan semakin banyak.
Padepokan Ki Ageng Ngliman berada di Kabupaten Berbeg. Pada masa kekuasaan Mataram Islam, di kawasan itu terdapat empat kabupaten, yakni Berbeg, Kertosono, Nganjuk dan Godean.
Pasca perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830), di bawah gubernemen kolonial Belanda, empat kabupaten disatukan di bawah Kabupaten Berbeg dan dalam perjalanannya pindah ke Nganjuk.
Sementara karena banyak pengikut dan merasa memiliki kekuasaan sendiri, Ki Ageng Ngliman memperlihatkan sikap menantang Mataram. Dalam sekejap Ki Ageng Ngliman dianggap sebagai tokoh yang membahayakan kekuasaan.
Kisah Brang Wetan Berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan menceritakan, Ki Ageng Ngliman kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. “Dia tertangkap dan dibawa ke Solo dan (kemudian) dihukum mati”.
Tamat sudah riwayat Aliman atau Ki Ageng Ngliman pemimpin padepokan Gunung Liman Nganjuk yang dikenal sebagai putra Sunan Giri.
(Angkasa Yudhistira)