Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Cara Pribumi Usir Flu Spanyol di Jawa, Arak Benda Pusaka hingga Sembelih Kerbau

Qur'anul Hidayat , Jurnalis-Kamis, 04 Januari 2024 |04:06 WIB
Cara Pribumi Usir Flu Spanyol di Jawa, Arak Benda Pusaka hingga Sembelih Kerbau
Ilustrasi. (Foto: Dok Okezone.com)
A
A
A

JAKARTA - Sekitar 1918 wilayah Hindia (kini Indonesia) ikut dilanda wabah Flu Spanyol. Pemerintah Hindia Belanda mencatat, virus ini pertama kali dibawa oleh penumpang kapal dari Malaysia dan Singapura dan menyebar lewat Sumatera Utara.

Investigasi polisi laut terhadap kapal penumpang Maetsuycker, Singkarah dan Van Imhoff mendapati beberapa penumpang positif terjangkit virus tersebut. Virus bahkan menjangkiti seluruh penumpang dan awak kapal Toyen Maru yang baru tiba di Makassar dari dari Probolinggo.

Kala virus itu mulai menyerang kota-kota besar di Jawa pada Juli 1918, pemerintah dan penduduk tidak memperhatikan. Mereka tidak sadar virus tersebut akan menjalar dengan cepat dan mengamuk dengan sangat ganas. Terlebih, saat itu perhatian pemerintah lebih terfokus pada penanganan penyakit-penyakit menular lain seperti kolera, pes dan cacar.

Mayoritas penduduk bumiputra juga memiliki pandangan serupa terkait pandemi Flu Spanyol. Mereka meyakini bahwa penyakit itu disebabkan oleh hadirnya roh halus atau hantu dalam tubuh mereka.

“Langkah penanggulangan yang mereka lakukan otomatis pun difokuskan untuk mengusir hantunya, bukan si influenza-nya,” tulis Sejarawan Ravando Lie dalam bukunya, ‘Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia masa Kolonial 1918-1919’/

Pihak Keraton Yogyakarta memutuskan menggelar ritual arak-arakan melawan Flu Spanyol pada Desember 1918. Dalam ritual itu, berbagai benda pusaka kraton diarak mengelilingi kota.

Satu pusaka yang diperlakukan paling mewah kala itu adalah Panji Kyai Tunggul Wulung. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam ‘Mengislamkan Jawa, Bendera Kyai Tunggul Wulung’, itu merupakan salah satu pusaka Keraton Yogyakarta yang dianggap paling suci.

Bendara tersebut, kata Ricklefs, diayakini dibuat dari kain yang digantung di seputar makam Nabi Muhammad SAW. Di ujungnya, terdapat tombak pusaka bernama Kanjeng Kyai Slamet.

“Pusaka Kyai Tunggul Wulung ini sudah digunakan sejak masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1646) dan diwariskan secara turun-temurun ke raja-raja setelahnya. Sedari dulu, Panji Kyai Tunggul Wulung ini memang kerap digunakan dalam upacara atau ritual untuk menolak bala penyakit,” kata Ravando.

Warga Yogyakarta berbondong-bondong mengiringi perarakan pusaka tersebut. Dengan dipimpin rombongan ulama, warga terus memberikan doa dan bersolawat tiada henti sepanjang malam hingga pagi datang.

Siang harinya pihak keraton melakukan penyembelihan kerbau bule. Setelah acara ritual itu, pandemi Flu Spanyol mulai mereda di Yogyakarta. Masyarakat meyakini kondisi itu disebabkan oleh pusaka Kyai Tunggul Wulung yang menebar kesaktiannya.

Di Solo, Kasunanan Surakarta melakukan inisiasi untuk penanggulangan pandemi. Itu dilakukan setelah banyak dokter yang menolak memberi pertolongan.

Para dokter kekurangan personel, sementara tingkat penyebaran virus sudah semakin besar. Menghadapi persoalan itu, pemerintahan Surakarta mengeluarkan instruksi untuk menjalankan sebuah ritual yang diyakini dapat menjadi solusi menghadapi gelombang Flu Spanyol di wilayah tersebut.

Dalam ritual ala Kasunanan Surakarta mula-mula dipersiapkan alat-alat pendukung ritual, seperti bunga, kemenyan dan kelapa muda yang diberi gula.

Kemudian kemenyan dibakar, sambil berdoa memohon keselamatan dari Sunan Lepen untuk seluruh sanak saudara dan keluarga, terutama kesehatan diri pribadi.

Setelah selesai, minum air kelapa muda. Minuman inilah yang dipercaya sebagai obat karena memberikan efek dingin kepada tubuh.

Namun alih-alih memberi kesembuhan, ritual itu justru menambah jumlah orang yang terpapar virus Flu Spanyol. Malah tidak sedikit orang yang terkena penyakit lain karena keliru dalam melakukan persiapan ritual.

Kondisi serupa juga terjadi kala Keraton Solo melakukan ritual menggunakan pusaka tombak “Kyai Slamet”. Pusaka yang diyakini sakti itu rupanya tidak memberikan perubahan berarti di Solo. Jumlah korban Flu Spanyol tetap tinggi.

Segala cara dicoba masyarakat untuk menghadapi virus itu. Di Parakan, Jawa Tengah, warganya kerap melakukan penyembelihan hewan seperti kambing atau sapi, yang kaki dan kepalanya ditanam di jalan-jalan utama.

Mereka meyakini cara tersebut dapat menghalau masuknya virus ke tempat mereka. Meski nyatanya cara itu tidak memberi hasil apa pun.

Sementara itu, warga Bangkalan yang percaya bahwa turunnya hujan dapat menghilangkan virus dari wilayahnya punya ritual tersendiri.

Ritual dilakukan dengan berkumpul untuk berdoa bersama-sama memohon turunnya hujan. Para pemuka agama dipercaya memimpin ritual pemanggilan hujan tersebut.

Menurut Ravando tidak dijelaskan apakah cara warga Bangkalan berhasil atau tidak, tetapi dari data pemerintah kolonial, angka mortalitas di sana tergolong rendah.

(Qur'anul Hidayat)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement