Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Jalan Damai Menyelesaikan Pemberontakan Permesta, 2 Sahabat Jadi Penentu

Tim Okezone , Jurnalis-Jum'at, 19 Januari 2024 |07:04 WIB
Jalan Damai Menyelesaikan Pemberontakan Permesta, 2 Sahabat Jadi Penentu
Pemerontakan PRRI Permesta mewarnai masa awal berdirinya Republik Indonesia (Istimewa)
A
A
A

JALAN damai lewat diplomasi lebih efektif menyelesaikan beragam konflik bersenjata ketimbang pendekatan perang. Pada masa awal-awal Republik Indonesia lahir, beberapa gerakan pemberontakan muncul karena buntut kekecewaan pada pemerintah yang dianggap tak adil dan melenceng dari harapan perjuangan.

Salah satunya adalah gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dan Perjuangan Semesta (PRRI Permesta). PRRI berpusat di Sumatera sedangkan Permesta di Sulawesi. Operasi militer penumpasan gerakan tersebut menimbulkan banyak sekali korban, tapi masalah tak juga selesai.

Akhirnya jalan dialog ditempuh. Dua sahabat terlibat dalam negosiasi untuk menyelesaikan konflik Permesta dengan pemerintah; Frits Johanes (Broer) Tumbelaka dan Letkol D.J. Somba. Perundingan ini dikenal dengan Peristiwa Malenos pada 4 April 1961.

 BACA JUGA:

Gerakan Permesta didirikan di Makassar pada 2 Maret 1957 untuk menuntut otonomi daerah atau terwujudnya pemerataan ekonomi dalam pembangunan, jangan hanya berpusat di Pulau Jawa.

Gerakan ini digawangi DJ Somba, Alexander Evert Kawilarang serta Ventje Sumual. Permesta tak ingin mendukung berdirinya Republik Persatuan Indonesia (RPI). Belakangan ada perselisihan di antara pendiri.

Somba dan Kawilarang tak setuju jika Permesta bergabung dengan PRRI dan DI/TII serta ide memisahkan diri dari Republik Indonesia, Tapi, Samual setuju.

Mengukutip dari buku “Permesta dalam Romantika, Kemelut dan Misteri”, Gubernur pertama Sulawesi Utara Broer Tumbelaka membuka pertemuan dialog antara Permesta dengan pemerintah RI pada medio Maret 1961.

 BACA JUGA:

Pertemuan yang tepatnya berlangsung di Desa Lahendong itu, sedianya tak hanya dihadiri Somba dan Tumbelaka, tapi juga dihadiri sejumlah

warga desa dan masing-masing pasukan. Bahkan, pasukan Permesta dan TNI saling berangkulan – tanda rindu persatuan.

Keberhasilan Tumbelaka menjalin kontak dengan Somba, tak lepas dari hubungan persahabatan mereka yang belum putus, semenjak masih berdinas dalam tubuh TNI di Surabaya.

Dari situlah, singkat kata penyelesaian bisa terjadi pada 4 April 1961 di Malenos, Minahasa, di mana Permesta diwakili Somba dan pemerintah diwakili Pangdam XIII Merdeka, Kolonel Sunandar Priyosudarmo.

Somba juga mengajak Kawilarang untuk berdamai lewat pesan kawat. Empat hari kemudian, Kawilarang datang dengan berjalan kaki.

“Di bawah bendera merah putih ini terlalu banyak kawan sudah jadi korban. Bendera ini sama haknya dengan (Presiden) Soekarno. Bendera ini kita punya. Itu dan Pancasila tidak akan dilepaskan,” tegas Kawilarang.

Semua pengikut Permesta diberi amnesti dan abolisi lewat Keppres 322/1961. Sementara Sumual yang sempat ikut gerakan RPI, akhirnya menyerahkan diri pada medio Oktober 1961 dan juga ikut diampuni – kecuali para anasir RPI yang berafiliasi dengan DI/TII.

Sebagaimana konflik di manapun, gerakan ini menimbulkan derita pada rakyat. Menurut keterangan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayjen Abdoel Haris Nasution, sekira 15 ribu korban jiwa di Minahasa, 394 desa di seluruh Sulawesi Tengah dan Utara musnah. Sekitar 2.499 nyawa prajurit TNI melayang dan di pihak PRRI/Permesta 22.174 tewas.

(Salman Mardira)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement