JAKARTA - Direktur Laboratorium Antikorupsi Adnan Topan Husodo, menilai langkah Mahfud MD mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) sebagai tindakan yang beretika. Sebab Mahfud saat ini juga berkontestasi di pilpres 2024 sebagai calon wakil presiden (Cawapres) nomor urut tiga.
Dia juga berharap langkah yang diambil Mahfud juga diikuti oleh peserta pilpres lainnya yang kini menduduki jabatan publik, yaitu Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, dan Wakil Ketua MPR Muhaimin Iskandar. Sebab jika langkah itu tidak diikuti, dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan.
BACA JUGA:
"Kalau posisinya ada di dua tempat tadi, pejabat publik dan calon, masalahnya kan resource negara bisa disalahgunakan untuk kepentingan elektoral. Itu yang kami lihat dalam perkembangan terakhir ketika kebijakan pemerintah untuk mendistribusikan bansos, gitu, ya. Yang mana sebenarnya ini sangat dekat untuk mencari dukungan pemilih. Padahal itu duit kan dari APBN, masyarakat yang bayar lewat pajak, kok bisa digunakan untuk semacam itu," kata Adnan, Kamis (1/2/2024).
Dia menambahkan, ketika masih menjabat di kursi legislatif atau eksekutif namun ikut berkontestasi di pilpres 2024, maka yang bersangkutan bisa mengerahkan pejabat dan jajaran di bawahnya untuk ikut mendukung diri mereka. Oleh sebab itu, melepas jabatan merupakan langkah yang paling tepat.
"Itu seharusnya menjadi standar etik dari para pejabat publik yang sekarang berkontestasi. Entah posisinya sebagai capres atau cawapres," ucapnya.
BACA JUGA:
"Prabowo mundur dari Kemenhan, Gibran mundur wali kota, Cak Imin mundur dari anggota DPR itu aman. Masing-masing bisa berkontestasi secara adil," sambungnya.
Dia menjelaskan, seorang sekretaris daerah berdasarkan aturan harus mundur apabila mencalonkan diri dalam pemilu. Namun herannya, mengapa jabatan yang lebih tinggi dari sekretaris daerah yang memiliki kekuatan lebih besar malah tidak melakukan hal serupa.
"Potensi abuse dan korupsinya lebih besar dalam bentuk apa pun. Entah itu pengaruh arahan, kebijakan yang mengarahkan juga untuk kepentingan dirinya sendiri atau kepentingan kelompok yang dia dukung, penggunaan fasilitas negara karena enggak jelas dia cuti atau bukan dan sebagainya. Praktis dalam kondisi itu akan muncul konflik kepentingan yang hanya bisa ditekan kalau pejabat publiknya mundur," katanya.