Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Langit Jernih Indonesia, Membersihkan Polusi Informasi di Jagat Maya

Opini , Jurnalis-Sabtu, 23 Maret 2024 |15:44 WIB
Langit Jernih Indonesia, Membersihkan Polusi Informasi di Jagat Maya
Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan (Foto: Ist)
A
A
A

Data yang dirilis ‘The UN Local Government Bodies’ seperti dikutip lembaga riset pasar dan konsultasi multinasional, Ipsos, menunjukan Indonesia memiliki 274.9 juta penduduk.

Dalam jumlah tersebut, riset memperlihatkan di Indonesia terdapat 354 juta telepon genggam yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Artinya, bila bayi juga dihitung, setiap penduduk Indonesia rata-rata memiliki 1,25 telepon genggam.

Data Ipsos juga memperlihatkan, pengguna internet di Indonesia berjumlah 202,6 juta, dan 170 juta diantaranya aktif bermedia sosial.

Data tersebut bisa diterjemahkan dalam berbagai sudut pandang, tergantung banyak sekali faktor. Namun, ada satu hal yang pasti, fakta dominannya warga pengguna internet dan aktif bermedia sosial di Indonesia sebuah peluang.

Peluang yang tidak saja bisa dimanfaatkan oleh penduduk Indonesia saja, tapi juga penduduk dunia. Bukan saja peluang dari sudut ekonomis, tapi juga politis dan banyak peluang lainnya. Peluang adalah kemungkinan terjadinya sebuah kejadian.

Peluang juga bisa diartikan adanya kesempatan dalam terwujudnya sebuah impian, harapan, atau tujuan. Peluang bisa besar atau kecil, bisa membesar atau bahkan mengecil dan hilang.

Persoalannnya, peluang itu digunakan untuk hal yang baik atau buruk, memperbaiki atau merusak. Bisa juga diklaim ditujukan untuk hal baik, tapi dilakukan dengan proses yang buruk.

Bagaimana peluang itu dimanfaatkan, bisa diamati dengan membuka postingan warga di media sosial. Di jagat maya, gelombang informasi bergerak sangat luar biasa. Bukan sekadar dinamis namun juga responsif. Hal yang dituding melanggar etik kerap diserbu tanggapan pro dan kontra.

Sebagai sebuah peluang bisnis, banyak warga yang berharap bisa mendapat cuan dengan menarik perhatian pengguna media sosial lainnya. Dalam konteks Pemilu 2024, jagat media sosial adalah peluang kontestan untuk merebut dukungan pemilih. Bila peluang itu dimanfaatkan secara positif dan bermartabat, tidak ada persoalan yang ditimbulkan.

Namun, masih saja banyak ditemukan informasi yang tidak layak disampaikan masih saja disebarkan. Padahal dampaknya bisa sangat luar biasa, menyakitkan dan merusak. Mungkin pengguna media sosial tidak memahami persoalan dampak ini, tapi bisa saja memahami tapi tidak peduli dengan dampak. Atau bisa saja sengaja untuk tujuan-tujuan tertentu.

Koneksi internet yang menyelimuti bumi membuat dunia menjadi tanpa batas. Dalam situasi ini, siapa memainkan apa untuk kepentingan apa menjadi bisa sulit ditelusuri. Setidaknya, media sosial bisa membuat negara lain menikmati bonus demografi Indonesia secara ekonomi atau bahkan ideologi.

Dengan bermedia sosial, siapapun bisa mengirim apapun. Bukan saja informasi berbentuk teks, tapi juga foto, grafis, audio hingga audio visual. Hal serupa yang dilakukan para jurnalis professional dengan media persnya.

Bedanya, para jurnalis bekerja dengan satu tujuan mulia, dengan niat baik memberi informasi bermanfaat untuk publik. Bukan sekadar menyebar informasi, mendidik, menghibur dan melakukan kontrol sosial, namun caranya harus dilakukan dengan bermartabat, dan memberikan nilai tambah positif bagi publik.

Tanpa kehilangan konteks, tidak akan pernah muncul caci maki keluar di media pers.

Dalam menjalankan tugasnya, para jurnalis bekerja dengan aturan regulasi yang ketat. Ada etika yang harus dipegang. Kode Etik Jurnalistik disepakati 29 organisasi pers pada 14 Maret 2006. Kemudian dinyatakan sebagai Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/ V/2008 adalah Kode Etik Jurnalistik yang memenuhi syarat baik secara filosofis, sosiologis, dan normative;

Setidaknya kode etik ini melindungi 3 pihak;

1. Jurnalis, sehingga bisa leluasa dalam menjalankan fungsinya tanpa khawatir terhadang masalah.

2. Narasumber, sehingga bisa memberikan data, fakta dan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan dengan leluasa.

3. Publik, sehingga mendapat informasi yang bekualitas, bermanfaat, dan bermartabat.

Polusi Informasi

Konsekuensi dari seiring terus bertambahnya warga yang aktif bermedia sosial, setiap saat semakin banyak informasi dikirim ke jagat maya. Setiap detik, bisa jutaan informasi disebar dari berbagai pelosok negeri. Tidak semuanya orisinal, banyak yang malah sekadar mengirim ulang, demi menambah jumlah pengunjung ke akunnya.

Pada satu sisi, berkah bagi publik karena mendapat lebih banyak informasi. Bila saja informasi yang disebar tersebut bukan saja benar, tapi juga baik dan bermanfaat, dampaknya tentu akan baik pula. Masalahnya, tidak jarang warga yang mengirim informasi yang sekadar benar, padahal tidak baik bagi publik.

Dalam banyak kasus, malah ada yang sengaja menyebar berita bohong yang diterima publik sebagai sebuah kebenaran. Atau salah memahami konteks, sehingga sebuah kebenaran yang baik disalah artikan menjadi hal yang berdampak buruk.

Dan yang terjadi kemudian adalah ‘polusi’ di langit informasi Indonesia. Polusi adalah pengotoran sebuah zat oleh zat lain yang tidak seharusnya ada. Dalam konteks polusi informasi, banyak informasi tidak banar, tidak bai.k dan tidak bermanfaat yang masuk ke ruang udara informasi yang seharusnya steril.

Maka jadilah, publik yang seharusnya hanya ‘menghirup’ udara informasi bermanfaat, kemudian terpaksa harus ‘menghirup’ kotornya langit informasi oleh informasi tidak bermanfaat , menyesatkan dan bisa berdampak buruk.

‘Langit Jernih Indonesia’

Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), melihat polusi informasi di Indonesia harus segera diatasi. IJTI berkomitmen turut memelopori gerakan membersihkan jagat maya udara langit Indonesia dari informasi tidak bermanfaat lewat gerakan ‘Langit Jernih Indonesia’. Caranya mengajak seluruh pihak bersama-sama membanjiri jagat maya Indonesia dengan informasi baik, benar dan bermanfaat.

Langkah pertama yang dilakukan adalah penguatan internal. Seluruh jurnalis anggota IJTI harus menjalankan kerja profesional sebagai jurnalis sebaik mungkin sesuai regulasi dengan membuat karya-karya berkualitas.

Karya-karya jurnalistik yang sudah dipublikasi di medianya masing-masing ini kemudian harus diamplifikasi seluas mungkin melalui seluruh platform sehingga bisa menutup celah informasi tidak yang bermanfaat dapat terakses publik.

IJTI dan para jurnalis yang tergabung dalam organisasi profesi lain tentu tidak bisa bekerja sendiri. Secara kuantitas, jumlahnya sangat sedikit dibanding penggiat media sosial yang juga bisa mengirim informasi bahkan lebih cepat dibanding jurnalis profesional.

Maka, sangat diharapkan publik menghitung secara matang sebelum mengirim apapun ke jagat media sosial. Jujur pada nurani, sebermanfaat apa informasi yang akan disebar. Berempatilah. Bayangkan bagaimana dampak yang bisa ditimbulkan setelah menyebar sebuah informasi.

Jangan tergoda menyebar informasi yang pada dasarnya mudah diterima publik, bila secara perhitungan tidak memberikan dampak yang baik.

Landasan dasar jurnalisme adalah kebaikan, maka tidak ada salahnya bila publik juga mengadopsi nilai luhur jurnalisme dalam bermedia sosial.

Bila hal ini dilakukan, maka jalan untuk mengatasi polusi informasi menjadi semakin mudah. Langit Indonesia akan jernih kembali, dan kita semua bisa menghirup udara kebaikan dengan sangat leluasa.

Penulis: Herik Kurniawan

 

 

 

Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)/ Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Pamulang

(Khafid Mardiyansyah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement