JAKARTA - Saat Perdana Menteri Soetan Sjahrir diculik, Presiden Soekarno segera mengeluarkan maklumat untuk sementara mengambil alih pemerintahan dan memerintahkan penangkapan pelaku penculikan, termasuk atasan Letnan Kolonel Soeharto.
Pada waktu itu, Soeharto bertugas di komando wilayah Yogyakarta di bawah kepemimpinan Mayor Jenderal R.P. Soedarsono. Soedarsono adalah salah satu otak di balik penculikan Sjahrir di Solo sebagai bagian dari manuver kelompok "Persatuan Perjuangan" (PP) yang ingin menggulingkan Kabinet Sjahrir II.
Utusan presiden, Sundjojo, datang ke markas Resimen III Wiyoro yang dipimpin Soeharto dengan perintah untuk menangkap Soedarsono. Hal ini menimbulkan dilema bagi Soeharto, apalagi karena tidak ada bukti langsung mengenai keterlibatan Soedarsono.
"Sungguh gila gagasan itu, pikir saya, di mana ada seorang bawahan harus menangkap atasannya sendiri secara langsung, apalagi tidak ada bukti secara tertulis," ujar Soeharto dalam buku ‘Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia’.
Soeharto kemudian mengembalikan surat dari Sundjojo melalui Panglima Besar Jenderal Soedirman. Mendengar penolakan tersebut, Soekarno marah dan menyebut Soeharto sebagai opsir ‘koppig’ atau keras kepala.
Sementara upaya menangkap Soedarsono tidak hanya melalui perintah resmi tetapi juga melalui rumor infiltrasi dari beberapa laskar. Soeharto merasa perlu menyarankan atasannya untuk berlindung di Markas Resimen III Wiyoro, dengan pengawalan satu peleton pasukan.