JAKARTA - Kota Cirebon, Jawa Barat, memiliki sejarah penting yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), terutama sebelum terjadinya peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965.
Akbarudin Sucipto, pemerhati sejarah sekaligus Ketua Dewan Kesenian Cirebon Kota (Dekaciko), mengungkapkan, sebelum peristiwa G30S/PKI, PKI di Cirebon melakukan gerakan yang sangat sistematis.
Mereka bahkan melakukan pendekatan secara kultural kepada masyarakat setempat. Namun, semua itu berubah drastis akibat pemberontakan yang dikenal sebagai Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI).
Akbar mengatakan, PKI di Cirebon awalnya menggunakan pendekatan kultural karena harus bersaing dengan partai-partai lain seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, dan Nahdlatul Ulama.
Saat Kota Cirebon menjadi kota yang menyelenggarakan pemilu, walaupun pada saat itu jumlah kontestan banyak. Di situ ada PKI, tetapi relatif tidak ada keributan.
"Seringkali PNI, Nahdatul Ulama, Masyumi, dan PKI pada saat kampanye lokasinya berdekatan. Tapi yang memang terlihat berkonflik adalah PKI dan Masyumi. Entah saling ejek atau semacamnya. Tapi tidak sampai ribut," ujarnya kepada Okezone beberapa waktu silam.
Pendekatan kultural ini sangat penting karena sejak lama Kota Cirebon dikenal sebagai daerah dengan nilai religiusitas yang tinggi. Ditambah lagi, Cirebon adalah tempat tokoh-tokoh besar penyebar agama Islam, salah satunya Sunan Gunung Jati.
"Di Cirebon sistem pergerakan PKI berbeda dengan pola pergerakan PKI di tempat lain. Saya melihat PKI di Cirebon juga melakukan pendekatan kultural. Artinya mereka berani membaur dengan masyarakat," kata Akbar.
Kader dan simpatisan PKI melakukan doktrin terhadap anak-anak di Cirebon. "Dari sisi propaganda, mereka masuk ke semua lini. Bahkan sampai level anak-anak," ujarnya.
Namun, pengaruh PKI di Cirebon akhirnya hilang setelah peristiwa G30SPKI. Mereka yang terlibat ditangkap dan diadili.
(Arief Setyadi )