Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Mengenal Ritual Muwon Namo di Jambi yang Lama Hilang

Qur'anul Hidayat , Jurnalis-Senin, 22 Juli 2024 |21:52 WIB
Mengenal Ritual Muwon Namo di Jambi yang Lama Hilang
Ritual Muwon Namo di Jambi. (Foto: Ist/Festival Suku Batin)
A
A
A

JAMBI – Ritual Muwon Namo di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi yang merupakan warisan tradisi kuno yang telah lama hilang kembali digelar pada Festival Suku Batin IX. Festival ini berlangsung pada 20-22 Juli 2024 di Desa Muaro Singoan ini menjadi festival budaya pertama dalam rangkaian Kenduri Swarnabhumi 2024.

Ritual Muwon Namo merupakan warisan budaya yang dilakukan Suku Batin IX dalam permohonan kepada Sang Maha Kuasa untuk menurunkan hujan demi kesuburan dan berkah bagi tanah dan masyarakat. Ritual ini dihadirkan demi mengingat kembali nilai yang terkandung dalam warisan budaya masyarakat setempat.

Direktur Lokal Festival Kabupaten Batanghari, Agung Habibilah, memberikan alasan terhadap pelestarian ritual Muwon Namo yang disajikan dalam festival ini. "Ritual Muwon Namo ini sudah lama ditinggalkan masyarkat. Namun, melalui festival ini, kita menunjukkan kepada masyarakat bahwa kebudayaan yang diwariskan leluhur perlu kita jaga dan lestarikan,” ucapnya, dikutp Senin (22/7/2024).

Agung berharap, dilaksanakannya Ritual Muwon Namo di festival Suku Batin IX ini bisa memberi gambaran betapa pentingnya menjaga nilai-nilai leluhur. Ritual Muwon Namo, lanjutnya, perlu dipandang sebagai warisan budaya yang perlu dijaga agar memberi dampak positif bagi keberlanjutan kearifan lokal.

“Semoga tradisi kita dikenal masyarakat luas, tidak hanya masyarakat Jambi tapi masyarakat luar berbagai daerah,” ucapnya.

Sementara itu, Pemimpin Ritual Muwon Namo Festival Suku Batin IX, Datuk Raden Sulaiman, menerangkan persiapan khusus untuk menggelar ritual dan asal muasal ritual Muwon Namo. "Ritual Muwon Namo membutuhkan persiapan khusus. Beberapa bahan yang harus disediakan antara lain minyak wangi, kemenyan, kapur sirih, dan kain hitam. Persiapan ini penting untuk memastikan ritual berjalan dengan khidmat dan lancar," urai pria bergelar adat Datuk Raden Mudo Mulyo ini.

Ritual ini dilaksanakan di pinggir Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, terutama saat musim kemarau dengan tujuan untuk meminta hujan demi membantu pertanian tumbuh subur. Adapun warisan lisan asal usul ritual ini dimulai dari pasangan suami-istri Suku Batin Sembilan yang tinggal di tengah hutan. Sang istri menemukan dua telur ular yang dibawa ke rumah dan tak sengaja dikonsumsi oleh suaminya. Seketika sang suami merasakan panas pada tubuhnya dan terus menerus meminum air hingga aliran air sekitar habis. Atas dasar itu, sang istri mengambil kuwali dapur (wadah memasak telur) sebagai media melaksanakan ritual memanggil hujan. Ritual inilah yang diyakini Datuk Sulaiman sebagai ritual yang dilakukan Raden Ontar.

"Raden Ontar ini anak dari Raden Nagosari yang merupakan keturunan Kerajaan Majapahit," jelasnya.

Raden Ontar memiliki sembilan anak bernama Singo Jayo, Singo Jago, Singo Pati, Singo Arum, Singo Besak, Singo Laut, Singo Delago, Singo Mangolok, dan Singo Ano. Kesembilan sungai yang dikenal dalam cerita mereka antara lain Sungai di Jebak, Sungai di Desa Muaro Singoan, Sungai di Bahar, Sungai Serisak, Sungai Cikadas, Sungai Pemusiran, Sungai Burung Hantu, Sungai Muara Bulian, dan Sungai Muaro Singoan.

Anak bungsu, Raden Singo Ano, bertugas menjaga Sungai Muaro Singoan dan tinggal di Dusun Sialang Pungguk, dikenal sebagai Raja Singo Ano. "Pada suatu ketika, musim kemarau panjang melanda Dusun Sialang Pungguk (Seberang Desa Muaro Singoan), menyebabkan kekeringan yang parah. Aliran Sungai Singoan mengering, tumbuhan mati, dan sumber makanan dari sungai hilang. Masyarakat menganggap kekeringan ini sebagai kutukan dari dewa hujan," tuturnya.

Untuk mengatasi situasi ini, katanya, masyarakat memutuskan melakukan ritual Muwon Namo untuk meminta hujan. Ritual dimulai dengan melepaskan ayam jantan sebagai persembahan di makam Rajo Singo Ano.

“Jadi jika Raden Ontar tak melaksanakan Muwon Namo, mungkin generasi hari ini tidak mengenal tradisi itu,” kata Datuk Sulaiman

Pada Festival Suku Batin IX, pemimpin ritual Muwon Namo, pemimpin doa, dan anggota ritual menyirami dan melarungkan relief naga yang terbuat dari tanah ke sungai Batanghari. Para peserta ritual membaca mantra yang kemudian akan disibah air sungai ke relief tersebut sampai luntur dan kakinya jatuh ke air sungai.

“Respons masyarakat sangat antusias, karena sudah lama tidak dilaksanakan. Orang-orang ingin tahu bagaimana nenek moyang kita meminta turun hujan. Ini adalah proses melihat kebudayaan yang perlu dijaga,” tegas Datuk Raden Sulaiman.

Selain itu, dilakukan juga penebaran benih ikan ke Sungai Batanghari. Hal ini dilakukan sebagai upaya menjaga kelestarian sungai yang telah berperan penting dalam peradaban dan kehidupan masyarakat setempat. Meskipun Desa Muaro Singoan dan desa sekitar yang merupakan rumah bagi Suku Batin IX telah menjadi tempat tinggal dari berbagai suku, berbagai tradisi dan nilai identitas budaya masih dilestarikan.

Festival Suku Batin IX juga menampilkan berbagai acara menarik seperti lomba masak Brengkes Ikan, arak-arakan dengan pakaian tradisional, lomba musik dan permainan tradisional, pameran objek diduga cagar budaya (ODCB), serta pameran UMKM lokal.

"Festival ini harapannya menjadi momentum yang baik untuk melestarikan seni dan budaya lokal,” ujar Kurator Lokal Wilayah Kabupaten Batanghari, Irma Tambunan.

Irma menyebutkan penyelenggaraan festival budaya perlu keterlibatan masyarakat lokal sebagai pemilik warisan budaya yang diangkat. Seluruh panitia penyelenggara festival ini merupakan masyarakat lokal, yang bekerja sama dengan para tokoh adat se-Kabupaten Batanghari. Rangkaian Festival Suku Batin IX juga melibatkan 12 sanggar seni dari Kabupaten Batanghari, lebih dari 100 budayawan dan seniman lokal yang menginkubasi lebih dari 150 anak-anak sekolah dari tingkat SD hingga SMP untuk berpatisipasi.

Partisipasi berbagai elemen masyarakat menunjukkan betapa kuatnya dukungan dan antusiasme masyarakat dalam menjaga dan merayakan budaya mereka. Festival ini tidak hanya merayakan warisan budaya, tetapi juga memperkuat ikatan komunitas dan pembangunan desa yang berkelanjutan.

Direktur Lokal Festival Kabupaten Batanghari, Agung Habibilah, festival yang diadakan pada 20- 22 Juli 2024 ini memberikan dampak signifikan bagi masyarakat setempat. "Bisa mengangkat perekonomian masyarakat lokal dan melibatkan mereka dalam pelestarian budaya," ungkapnya.

Diketahui, Kenduri Swarnabhumi 2024 merupakan rangkaian festival budaya di sepanjang DAS Batanghari yang telah memasuki tahun ketiga. Tahun ini, Kenduri Swarnabhumi yang mengangkat narasi 'Menemu-kenali Kebudayaan DAS Batanghari', memfokuskan pada kemandirian dalam mengangkat kearifan lokal. Kenduri Swarnabhumi 2024 akan digelar di sepanjang wilayah yang dilalui Sungai Batanghari, yakni di 10 Kabupaten/Kota se-Provinsi Jambi dan satu Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Pagelaran festival budaya akan diselenggarakan oleh masyarakat setempat berkoordinasi dengan Direktur Festival dan Kurator Lokal serta didukung Kemendikbudristek melalui Direktorat Perfilman Musik dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan.

(Qur'anul Hidayat)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement