Akademisi IAIN Ambon, Abidin Wakano menambahkan, agama sudah tidak lagi memiliki daya untuk menuntun masyarakat menjawab berbagai tantangan sosial dan justru terjebak dalam industrialisasi politik identitas.
“Oligarki, kapitalisasi agama membuat agama-agama ikut terperangkap dalam sistem oligarki,” tegas Wakano, yang menyoroti kekuatan ekonomi dan politik elit turut menggerus otoritas moral agama.
Wakano menilai sejak Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019, agama telah digunakan secara luas dalam narasi politik identitas. Penggunaan agama dalam politik ini menyebabkan segregasi sosial, memecah masyarakat berdasarkan identitas agama, dan memunculkan mentalitas in-group dan out-group.
Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional Ahmad Najib Burhani mengungkapkan adanya paradoks dalam keberagamaan di Indonesia. Salah satunya pluralits yang terbatas.
Burhani juga menyebutkan paradoks negara beragama dan berketuhanan yang menunjukkan ada korelasi yang tampak negatif antara kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dengan keyakinan terhadap pentingnya agama.
“Negara yang memiliki indeks pembangunan manusia yang tinggi cenderung masyarakatnya menganggap agama tidak penting,” ujarnya, merujuk pada World Happiness Index yang menunjukkan bahwa negara-negara yang lebih bahagia sering kali adalah negara yang tidak terlalu religius.
Namun, Burhani juga mencatat bahwa negara-negara yang religius sering kali unggul dalam filantropi, termasuk Indonesia. "Filantropi adalah salah satu kekuatan dari negara beragama seperti Indonesia," tandasnya.