“Ternyata menanam dengan menebang itu sangat beda jauh, menebang hanya butuh waktu hitungan jam tetapi menanam dan tumbuh perlu waktu 10 tahun. Kami berubah pikiran ternyata sayang sebenarnya untuk ditebang lagi,” katanya.
Pada tahun 2017, warga setempat mendapat surat dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Stabat, agar mengikuti program perhutanan sosial. Tahun 2018, warga setempat mengikuti program tersebut hingga akhirnya mendapatkan izin Kelompok Tani Hutan seluas 178 hektar.
“Sekarang hutannya besar dan bagus, tidak ada penebangan lagi. Setelah izin keluar, kami beserta masyarakat kami membuat keputusan bawah dapur arang semuanya ditutup,” tegasnya.
Untuk memperkuat komitmen ini, kata dia, bersama warga desa membuat kesepakatan baru berupa sanksi. Para penebang mangrove yang ditangkap, harus membayar denda ganti rugi.
“Kalau nanti ada yang nebang mereka akan kami tangkap dan denda, besaran dendanya itu kami buat yaitu saat menebang satu batang pohon maka dia menggantikan 1.000 batang bibit mangrove,” tuturnya.
Kata dia, hutan mangrove di wilayahnya semakin besar karena adanya peran Pemerintah Pusat saat 2020 dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Pada 2010, BRGM memberi pendampingan tata cara mengolah dan melestarikan mangrove, sekaligus membeli bibitnya dari masyarakat.
“Kami di BRGM diberikan pembibitan sendiri, nah pembibitan sendiri itu duitnya dibayar ke kami. Uangnya kami manfaatkan, salah satunya untuk membangun saung ini,” ujarnya.