Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kisah Perempuan Tionghoa Cintai Wayang Orang Jawa hingga Tampil 2 Jam di Depan Soekarno 

Avirista Midaada , Jurnalis-Selasa, 28 Januari 2025 |10:35 WIB
Kisah Perempuan Tionghoa Cintai Wayang Orang Jawa hingga Tampil 2 Jam di Depan Soekarno 
Wanita Tionghoa Shirley Kristiani mendedikasikan hidupnya untuk wayang orang (Foto: Okezone/Avirista)
A
A
A

MALANG - Perempuan keturunan Tionghoa asal Malang mencintai budaya Jawa hingga pernah tampil dua jam di depan Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno. Perempuan bernama Shirley Kristiani Widjihandayani memang bisa dilepaskan dari akulturasi budaya Tionghoa dengan Indonesia. 

Perempuan yang lahir dari campuran ayah bersuku Madura, dan ibu beretnis Tionghoa, memang kental mengalir darah dari Tionghoa dari sang kakek. Ia dikenal penggerak kebudayaan Tionghoa yang dikolaborasikan dengan budaya jawa, khususnya wayang orang.

Sosoknya yang kini sudah menua masih terlihat energik. Ia juga masih mengingat gerakan - gerakan yang dilakukannya. Sesekali dirinya juga memperlihatkan kelenturan tubuhnya saat menari dalam pertunjukan wayang orang Jawa.

Perempuan yang akrab disapa Shirley ini menceritakan, awal mula menyukai kesenian wayang orang khas Jawa ini. Shirley memang sejak awal menyukai seni dan drama, ia pun melihat pertunjukan wayang orang dan akhirnya mulai jatuh cinta pada pandangan pertama, dan mulai belajar menggeluti secara otodidak gerakan-gerakannya.

"Awalnya disuruh nari, terus belajar otodidak, guru yang namanya Pak Prapto itu yang mengarahkan. Selain itu memang saya bakat di drama, jadi gampang mengarahkannya," ucap Shirley Kristiani, ditemui di rumahnya kawasan Kecamatan Blimbing, Kota Malang.

Awalnya para pelajar, termasuk di antaranya Shirley dan teman-temannya membentuk suatu perkumpulan yang dinamakan Perkumpulan Ang Hien Hoo. Menariknya perkumpulan ini sebenarnya merupakan perkumpulan orang-orang penjual peti mati, hal ini karena saat berlatih Shirley Kristiani dan koleganya kerap berlatih di tempat persemayaman Panca Budi, dimana ini tempat peti mati ditaruh.

"Dari perkumpulan orang-orang jual peti mati. Terus ada gamelan itu kok nggak dimanfaatkan lalu kita ayah saya kira buat perkumpulan saja. Awalnya klenengan - klenengan, anak-anaknya diajari nari serimpi, baru langsung timbul pikiran bagaimana mendirikan perkumpulan wayang orang, semuanya WNI pelajar-pelajar keturunan," ujarnya.

 

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement