Dari LP tersebut, semakin jelas terungkap bahwa Liu Xiaodong tidak hanya diduga merebut tambang PT. SRM secara ilegal, tetapi juga terlibat dalam kejahatan serius seperti penyalahgunaan bahan peledak, pencurian, dan pencucian uang.
Fakta baru dari asesmen data justru semakin mengungkap bahwa Liu Xiaodong duduga memiliki hubungan tertentu dengan PT. Bukit Belawan Tujuh (PT BBT) tetangga area tambang PT SRM. Malah komisaris dan pemegang saham mayoritas PT BBT, Nur Aini disebut istri sirinya, saat ini tengah dilapor ke Polda Metro Jaya atas dugaan pemalsuan dokumen jual beli saham. Nur dan Liu memiliki seorang putri LKL dan jika ditelisik dengan metode TPPU, maka Nur cenderung kuat menjadi nomine dari Liu. Nur juga diduga terafiliasi dengan pihak yang melaporkan Yu Hao ke PPNS ESDM atas dugaan penambangan ilegal.
Kondisi yang terurai seperti itu akan semakin menegaskan bahwa kasus Yu Hoa tidak seperti yang terpublikasi, sehingga publik ramai-ramai menghujat majelis Hakim PT Pontianak. Jadi sudah tepat jika kita harus mendorong agar aparat hukum secara tuntas menyidiknya agar keadilan hukum berlandas kebenaran bisa tegak, himbau Iskandar Sitorus.
Hal tersebut menunjukkan bahwa ada indikasi manipulasi dalam penyidikan kasus Yu Hao. Berdasarkan asesmen dokumen, Liu Xiaodong patut diduga sebagai otak utama dalam kasus tambang ilegal yang merugikan negara Rp 1,02 triliun. Tetapi tidak disidik sampai ditetapkan sebagai tersangka layaknya Yu Hao. Itu adalah sebagai sesuatu bentuk kinerja yang tidak seharusnya dilakukan oleh PPNS ESDM. Sehingga produk penyidikan mereka berbuah buruk membuat publik hiruk-pikukk.
Alih-alih PPNS ESDM mengusut Liu, justru Yu Hao maka timbul keingintahuan publik, mengapa hanya satu orang dituduh menambang ilegal saat lokasi tambang PT SRM itu dikuasai oleh orang-orang Liu yang merebutnya secara paksa? Keanehan yang mudah dipahami itu dikesampingkan dengan gampang oleh penyidik. Padahal tidak sulit untuk merasionalkannya. Kondisi sedemikian menurut IAW yang membuat rasionalitas dan keyakinan majelis Hakim PT Pontianak sehingga memutuskan Yu Hao dibebaskan.
Kasus yang hanya menetapkan Yu Hao sebagai pelaku tunggal melakukan penambangan ilegal terkuak sebaliknya. Yakni saat fakta persidangan mengungkap bahwa tidak ada saksi yang melihat Yu Hao terlibat dalam pengolahan atau penjualan emas ilegal. Lalu tidak ada bukti komunikasi, seperti rekaman telepon atau pesan, yang mengaitkan Yu Hao dengan aktivitas penambangan ilegal itu. Juga tidak ada perintah langsung dari Yu Hao kepada pihak lain untuk melakukan aktivitas ilegal. Semua fakta itu telah tercatat dalam persidangan.
Oleh karenanya, ideal sekali jika Polri segera memeriksa ulang tuduhan terhadap Yu Hao dengan cara menyidik PPNS ESDM tersebut. Lalu sekaligus menyidik Liu Xiaodong serta kelompoknya karena diduga terlibat dalam aktivitas ilegal di lokasi tambang yang bukan miliknya.
Kasus Yu Hao memunculkan reaksi keras dari berbagai pihak menuntut penegakan hukum yang lebih objektif, dengan tidak mengabaikan peran Liu Xiaodong dalam penguasaan tambang secara ilegal. Majelis Hakim dan Jaksa penuntut umum idealnya mempertimbangkan kembali fakta dalam memori banding, terutama yang menunjukkan bahwa Liu Xiaodong adalah pelaku utama.
Perlu juga penyelidikan lebih lanjut terhadap dugaan pencucian uang dari hasil tambang ilegal yang dilakukan Liu Xiaodong dan kelompoknya.
Kasus ini juga menjadi peringatan bagi aparat penegak hukum untuk lebih transparan dalam menangani WNA yang terlibat dalam bisnis ilegal di Indonesia. Jika Liu Xiaodong dan jaringannya terbukti bersalah, maka bukan Yu Hao yang seharusnya dihukum.
Penyidikan lebih lanjut secara komprehensif terhadap Liu Xiaodong dan PT. BBT harus segera dilakukan. Jangan sampai kasus ini justru menimbulkan konflik di antara Polri, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan BPK RI akibat dari manipulasi yang dilakukan oleh pihak tertentu pada tahap penyidikan, tutup Iskandar Sitorus.
(Khafid Mardiyansyah)