Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Menilik Suku Bajo, Mengenal Hak Hidup di Atas Laut

Arie Dwi Satrio , Jurnalis-Jum'at, 07 Februari 2025 |13:22 WIB
Menilik Suku Bajo, Mengenal Hak Hidup di Atas Laut
Suku Bajo (Foto: Athba/Okezone)
A
A
A

JAKARTA - Tak sedikit suku di Indonesia yang hidup di atas laut. Mereka menggantungkan hidup, bahkan tinggal di atas wilayah perairan. Salah satunya Suku Bajo. Suku yang mayoritas berada di wilayah pesisir Kalimantan dan Sulawesi tersebut terkenal dengan kehidupan di laut, mereka andal memancing, menyelam, hingga mengembara.

Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang kala itu dipimpin Sofyan Djalil pernah menyerahkan HGB kepada Suku Bajo pada 2022, silam. Setahun kemudian, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menyerahkan HGB kepada Suku Bajo yang menghuni Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Kepemilikan HGB (Hak Guna Bangunan) di perairan pesisir tersebut dianggap hal yang lumrah. Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), Maria Suwardjono menyebut hal tersebut telah diatur dalam Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UU PA). 

"Jadi kalau sekarang kita mempertanyakan hak atas tanah di wilayah perairan pesisir, itu sebetulnya sudah lama sekali. Dalam Pasal 1 UU PA sudah membuka peluang itu," kata Maria dikutip Jumat (6/2/2025). 

Sejumlah suku di Indonesia, kata dia, banyak yang membangun rumah di lahan di atas perairan di pesisisr. Salah satunya Suku Bajo yang bermukim secara terapung di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah (Sulteng).  

"Ingat semboyan nenek moyangku adalah pelaut. Banyak sekali suku-suku asli yang rumahnya terapung. Termasuk Suku Laut dan Suku Barok di Kepulauan Riau. Atau HGB untuk suku Kampung Laut yang hidup di perairan Batam. Mereka punya hak atas lahan yang ditempatinya. Jadi, hak lahan di perairan pesisir itu memang bukan hal baru," terang Prof Maria. 

 

Sebelumnya, Pakar Hukum Agraria UGM, Prof Nurhasan Ismail menerangkan Pasal 1 Ayat (4) UU PA menyatakan, pengertian tanah termasuk daratan yang posisiya di bawah kolom air. Artinya, baik perairan pesisir maupun yang danau atau sungai, masuk definisi tanah atau lahan.

Khusus tanah di bawah kolom air, tak bisa melepaskan diri dari peraturan perundang-undangan bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Jika yang ingin dimanfaatkan adalah kolom airnya, maka masuk pernah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk tingkat pusat. Jika lokasinya di daerah menjadi wewenang kepala daerah atau dinas terkait.

Terkait gaduh pagar laut yang telah mengantongi HGB di Tangerang dan Sidoarjo, dia menyebutnya sebagai bentuk kelatahan. Dari aturan hukumnya, memungkinkan adanya SHGB itu.

“Misalnya di Sidoarjo, kalau HGB-nya mau diperpanjang, berati sudah 25 tahun yang lalu diberikan. Jadi, kenapa dipermasalahkan sekarang? Itu kelatahan politis dari DPR,” kata dia. 

Di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa hingga Pantai Selatan Madura, masyarakat memanfaatkan pesisir untuk menopang kehidupannya. Pelan-pelan mereka melakukan reklamasi, rujukan yang digunakan cukup dengan hukum adat.

“Karena tidak ada tanah lagi, negara tidak mampu menyediakan tanah untuk mereka. Ya mereka membentuk sendiri tanah itu. Pantai utara sepanjang Pulau Jawa ini lho, termasuk Madura," jelasnya.

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement