MALANG - Sejumlah Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) di Malang dipaksa bekerja tanpa diberikan upah, hingga ijazahnya ditahan. Para CPMI itu merupakan calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ditampung di perusahaan penampungan ilegal bernama PT NSP di Malang.
Para calon tenaga kerja itu kini berjuang untuk menuntut keadilan atas dugaan eksploitasi dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Para pekerja ini juga diminta bekerja di salah satu rumah makan milik suami RY, yang istrinya bernama Hermin, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.
Salah satu CPMI yang menjadi korban berinisial RH asal Malang mengatakan, ia dan beberapa pekerja lain tak diberikan upah dan diperlakukan tidak manusiawi di tempat penampungan PT NSP. Ia diminta untuk bekerja paksa tanpa diupah, dengan kedok pelatihan calon PMI di sebuah rumah makan milik RY, sang pemilik perusahaan penampungan TKI.
"Saya dipekerjakan di warung milik RY, bekerja selama 17 jam dan tidak diberi upah. Harusnya kami semua sudah diberangkatkan, ternyata tidak jadi berangkat dan saya juga mohon agar RY yang ikut terlibat ini dapat dihukum berat," kata RH, sambil menahan tangis di hadapan media, Selasa (29/4/2025).
Sementara itu, korban CPMI lainnya berinsial LA (50) juga mengungkapkan hal yang sama. LA menceritakan bagaimana ia dan teman - temannya dipekerjakan di rumah makan milik RY, tanpa diberikan upah sepeser pun. Total ada 5 orang calon PMI yang jadi korban eksploitasi.
"Jadi, sebanyak 5 orang kerja dan ini digilir tiap minggunya, dan satu orang disuruh memotong bawang sebanyak 20 kilogram tanpa upah sepeserpun," ujarnya.
Tak hanya tidak diberikan upah, pemilik penampungan CPMI juga menahan dokumen asli berupa KTP, Kartu Keluarga (KK), Akta Kelahiran, hingga ijazah asli. Total ada 47 orang CPMI yang ijazahnya masih ditahan oleh PT NSP.
"Semua dokumen asli masih mereka tahan. Karena persyaratannya, dokumen yang diserahkan harus yang asli dan sampai hari ini tidak dikembalikan ke kami. Kami jadi tidak leluasa bekerja," ucapnya.
Ia dan beberapa temannya juga ketakutan ketika hendak bersuara. Hal ini membuatnya belum melaporkan kasus ini ke aparat penegak hukum, hingga akhirnya diberikan pendampingan dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Malang.
"Saya sama teman-teman tidak bisa bertindak sama sekali. Karena kami takut tidak diproses dan tidak diberangkatkan," ucapnya.
Sementara itu, Dewan Pertimbangan SBMI, Dina Nuriyati mengatakan, pihaknya telah menerima laporan pengaduan dari korban CPMI PT NSP Malang. Laporan itu diterima sejak Maret 2025, dimana ada enam korban yang mengadukan ke pihaknya.
"Sejak awal Maret 2025, kami sudah menerima laporan pengaduan dari para korban. Yang mengadu ke kami ada 6 korban, yaitu empat korban berdomisili di Malang dan dua korban berdomisili di Banyuwangi," jelasnya.
Dirinya menjelaskan, bahwa para korban CPMI PT NSP ini mendapat perlakuan tidak manusiawi, yakni dipekerjakan di warung makan secara paksa tanpa upah yang dibungkus dengan kedok pelatihan.
"Jadi, indikasi adanya eksploitasi sudah jelas dan harusnya pelatihan sesuai dengan pekerjaaan yang harus dilakukan CPMI seperti merawat bayi, merawat lansia atau pekerjaan rumah tangga lainnya," jelasnya.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut dugaan eksploitasi tersebut. Tak hanya itu, ia juga berkomitmen mengawal kasus ini sampai mendapatkan keadilan ke para korban.
"Kami tegaskan bahwa SBMI tidak akan berhenti mengawal proses kasus ini sampai keadilan benar-benar didapatkan. Termasuk meminta polisi bergerak cepat untuk mengusut termasuk meminta peran aktif dari BP2MI," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, pada Senin malam 30 September 2024 pukul 23.00 WIB, sebuah aksi dugaan penganiayaan ke wanita muda berinisial HNF (21) terjadi. Korban diduga dianiaya oleh majikannya sendiri karena anjing kesayangannya mati.
Terduga pelaku berinisial HMN (45), asal Ampelgading, kesal karena HNF, asal Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, dianggap sebagai penyebab kematian anjing kesayangan HMN, korban dan keluarganya melaporkan kasus ini ke Satreskrim Polresta Malang Kota.
Dari kasus ini ternyata terungkap pelanggaran lainnya mulai dari tempat penampungan ilegal, hingga pelanggaran tindak pidana lain. Dari kasus ini polisi menetapkan dua tersangka yakni Hermin (45), warga Kecamatan Ampelgading Kabupaten Malang dan laki-laki berinisial DPP alias (37), warga Kecamatan Sukun Kota Malang.
Perusahaan itu ternyata sempat mengirimkan TKI ke Hongkong meski tidak berizin. Polresta Malang yang mengembangkan kasus itu lantas menetapkan satu orang tersangka baru yakni Alti Baiquniati (34), warga Kelurahan Jodipan Kecamatan Blimbing Kota Malang yang memiliki peran untuk menjemput CPMI dan juga tangan kanan dari tersangka Hermin.
Diketahui, penyidik Polresta Malang Kota telah melimpahkan perkara kasus TPPO tersebut berikut kedua tersangka yaitu Hermin dan Ade ke Kejari Kota Malang. Kedua tersangka dijerat dengan 7 pasal berlapis.
Sesuai dengan peran masing-masing dalam perkara tersebut, yakni melanggar Pasal 2, Pasal 4 dan Pasal 10 UU RI No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) serta Pasal 81, Pasal 83, Pasal 85 C dan Pasal 85 D UU RI No 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
(Khafid Mardiyansyah)