JAKARTA – Majelis Hakim Tipikor PN Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 3 tahun penjara terhadap mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan pada Kemenkes Budi Sylvana, dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19. Hakim menyakini terdakwa terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
"Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun serta denda sebesar Rp100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 2 bulan," kata Hakim Ketua Syofia Marlianti di ruang sidang, Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).
Sementara dalam hal yang memberatkan terdakwa atas putusan tersebut, hakim menyampaikan Budi tidak berkenan dengan upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Perbuatan terdakwa juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Kementerian Kesehatan.
Sedangkan hal yang meringankan, terdakwa berlaku sopan di persidangan dan terdakwa memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya.
Tak hanya Budi, dalam kasus ini, majelis hakim juga menjatuhu vonis terhadap Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (PT EKI) Satrio Wibowo selama 11 tahun 6 bulan penjara. Dia juga didenda Rp1 miliar subsider 4 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp59,98 miliar subsider 3 tahun penjara.
Lalu, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) Ahmad Taufik dijatuhi hukuman 11 tahun penjara. Denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp224,18 miliar subsider 4 tahun penjara.
Sebelumnya, tiga terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan APD Covid-19 di Kemenkes didakwa merugikan negara Rp319 miliar.
"Telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319.691.374.183,06," kata Jaksa di ruang sidang.
Jumlah kerugian tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tentang Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan APD pada Kemenkes RI menggunakan Dana Siap Pakai pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (DSP BNPB) Tahun 2020 Nomor PE.03.03/SR/SP-680/D5/02/2024 tanggal 8 Juli 2024.
Dalam surat dakwaan dijelaskan, para terdakwa melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum berupa negosiasi harga APD sebanyak 170 ribu set. Negosiasi tersebut dilakukan tanpa menggunakan surat pesanan.
"Melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak 5 juta set, menerima pinjaman uang dari BNPB kepada PT PPM dan PT EKI sebesar Rp10 miliar untuk membayarkan 170 ribu set APD tanpa ada surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran., serta menerima pembayaran terhadap 1.010.000 set APD merek BOH0 sebesar Rp711.284.704.680 (Rp711 miliar) untuk PT PPM dan PT EKI," ujar Jaksa.
Jaksa menyebutkan, PT EKI tidak memiliki izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK). PT EKI dan PT PPM juga tidak menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga ke Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada kesepakatan negosiasi APD.
"Sehingga melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat, yaitu efektif, transparan, dan akuntabel yang bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan," ucapnya.
(Fahmi Firdaus )